Jumat, 16 April 2010

HERMENEUTIK QUR’AN

HERMENEUTIK QUR’AN
Dosen Pengampu: Nur Khalis, S.Ag. M.Ag
Disusun Oleh: Ali Mustofa (07027010)

Ciri-ciri Hermeneutik Dari Era Klasik, Modern, dan Kontemporer
A. Ciri-ciri hermeneutik diera klasik
  1. hermeneutika di masa lampau memiliki arti sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci.
  2. Apabila ditelusuri perihal sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika teks-teks, pada awalnya tampak dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi dalam sejarah permikiran teologis Yahudi-Krisitiani. menyebutnya sebagai sumber-sumber asli, yakni yang bersandarkan pada penafsiran dan khotbah Bibel agama Protestan.
  3. Dalam kegiatan interpretasinya masih berorientasikan pada masalah keagamaan dan humaniora.
  4. hermeneutika belum dikokohkan sebagai salah satu disiplin ilmu.
  5. hermeneutika pada era klasik menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu: Pertama, literal interpretation; Kedua, moral interpretation; Ketiga, allegorical interpretation, dan keempat; analogical interpretation. Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria). Keempat model interpretasi Bible tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan tokohnya Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan(abad ke-16 M) dengan tokohnya Marthin Luther.

B. Ciri-ciri hermeneutik diera modern
  • Memasukkan teori-teori baru untuk memahami teks (intepretasi) atau disebut dengan Re-evolusi teoritis, contohnya:
1. Hermeneutika Romantis
Sebagai sistem metodologi pemahaman, Hermeneutika romantis berangkat dari pertanyaan sederhana: “sebenarnya bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana pemahaman itu terjadi?”. Dan jawaban bagi pertanyaan ini, menurut perspektif Hermeneutika jenis ini, ada pada lima unsur yang terlibat dalam proses memahami sebuah wacana, yaitu: penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
Tokoh dari pemahaman ini adalah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), seorang filosof, teolog, filolog dan tokoh sekaligus pendiri Protestanisme Liberal berkebangsaan Jerman. ia dianggap sebagai “pemrakarsa Hermeneutika modern” karena menjadi filosof jerman pertama yang terus-terus menerus memikirkan Hermeneutika, sehingga dapat menghidupkannya kembali sebagai seni penafsiran dalam tradisi gereja.

2. Hermeneutika Metodis
Hermeneutika Metodis adalah “tekanik memahami akspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Sebagaimana teori sebelumnya dalam Hermeneutika romantic, Hermeneutika metodis juga menekankan pada sisi psikologis pengarang untuk memahami suatu pernyataan. Namun perbedaannya, Hermeneutika metodis lebih menekankan pada sisi sejarah (history) pengarang.
Hermeneutika metodis berawal dari kritik tajam terhadap teori Schleiermacher dalam Hermeneutika romantisnya yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bahasa. Kritik ini dilontarkan oleh Willhem Dilthey (1833-1911) seorang filosofis historis dari Jerman.

3. Hermeneutika Fenomenologis
Hermeneutika fenomenologi adalah pemahaman teks dengan cara membebaskan diri dari prasangka dan membiarkan teks “berbicara” sendiri. Artinya, teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri, dan penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsure-unsur subjektifnya atas objek. Tokoh penggagas teori ini adalah Edmund Husserl (1889-1938).

4. Hermeneutika Dialektis
Hermeneutika dialektis adalah upaya intepretasi dengan asumsi bahwa pemahaman adalah sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Karena itu, menurut teori ini, untuk memahami teks, tidak hanya dengan melacak makna yang letakkan oleh pengarang dalam teks, namun juga harus dikaitkan antara keberadaan kita dengan sesuatu yang ditunjukkan oleh teks tersebut. Ini berarti makna bukan sesuatu yang tunggal, namun yang ada adalah keragaman makna dan dinamika eksistensial. Dengan demikian, pembacaan dan penafsiran akan selalu merupakan pembacaan ulang dan penafsiran ulang, sehingga pembacaan satu teks secara baru akan mendatangkan pemahaman dengan makna yang baru pula. Tokoh teori ini adalah Martin Heidegger (1889-1976).
- Dalam berintepretasi masuk kesemua cabang keilmuan, tidak lagi hanya terpaku pada teks keagamaan (kitab suci) atau yang lebih dikenal dengan praktis ilmiah.

C. Ciri-ciri hermeneutik diera kontemporer
  • Adanya pengembangan teori yang lebih mendalam dan lebih disempurnakan, contohnya:
1. Hermeneutika Dialogis
Hermeneutika dialogis adalah interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman yang benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks dipertimbangkan dalam proses itu bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis bahasa dan budaya. Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof kelahiran Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002).

2. Hermeneutika Kritis
Hermeneutika kritus adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Artinya, dengan menggunakan metode ini, konsekkuensinya kita harus curiga dan waspada (kritis) terhadp bentuk tafsir, pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama. Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-).


3. Hermeneutika Dekonstruksionis
Hermeneutika dekonstruksionis adalah pemahaman yang didapatkan melalui upaya membangun relasi sederhana antara pananda dan petanda, dengan asumsi bahwa, bahasa dan sistem simbol lainnya merupakan sesuatu yang tidak stabil. Makna tulisan akan selalu mengalami perubahan, tergantung pada konteks dan pembacanya. “meaning is contextualized to the relationship between the text and its reader”. Tokoh dari teori ini adalah Jacques Derrida (1930-).
  • Hemeneutik masuk dalam kajian ke-Islaman yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an, tokoh-tokohnya seperti, Muhammad Shahrur, Riffat Hassan, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun, Abdul Kalam Azad, Fazhur Rahman, John Wansbrough, Farid Esack, Sayyid Qutb.


Secara ringkas sejarah Hermeneutika dalam teologi Kristiani berikut pertentangan dan perspektif masing-masing tokoh itu adalah sebagai berikut:
  1. Istilah Hermeneutika baru pertama kali ditemukan dalam karya Plato (429-347 SM).
  2. Metode Hermeneutika alegoris dikembangkan oleh Philo of Alexandria (20 SM-50M). Ia adalah seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak Metode Hermeneutika Alegoris.
  3. Metode Hermeneutika alegoris ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi kristen, tokohnya Origen (sekitar 185-254) Ia berhasil menulis kitab Perjanjian Lama dengan menggnakan metode ini, dan berikutnya dikembangkan oleh Johanes Cassianus (360-430).
  4. Metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Yang pertama dipengaruhi oleh Hermeneutika Plato dan yang kedua berkiblat pada Heremeneutika Aristoteles. Seorang teolog dan filosof Kristen, St. Augustine of Hippo (354-430) mengambil jalan tengah dan memberi makna baru kepada Hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik.
  5. Thomas Aquinas (1225-1274) mengembangkan metode Hermeneutika dalam teologi Kristen dengan menggabungkan filsafat Aristoteles dengan doktrin-doktrin Kristiani.
  6. Para tokoh reformasi Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) melakukan perubahan sikap dan perlawanan terhadap Bible dan otoritas gereja.
  7. Teori Hermeneutika berkembang menjadi metode interpretasi dan mulai menyamakan Bible dengan teks-teks lainnya dapat ditemukan awal mulanya pada karya J.C Dannheucer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum (terbit tahun 1654). Protes terhadap otoritas gereja yang bertentangan dengan akal muncul dalam karya Benedictus de Spinoza (1632-1677), Tractatus Theologico-Politicus (terbit 1670). Beberapa filosof dan teolog terkenal dari Universitas Halle Christian Wolff (1679-1754), Siegmund J. Baumgarten (1706-1755), Johann S. Semler (1725-1791) ikut berperan bagi derasnya arus pemikiran liberal bahkan sekuler ini. Masyarakat barat telah lebih cenderung menggunakan akal secara mandiri dan melepaskan diri bahkan tidak lagi percaya pada doktrin-doktrin tradisional keagamaan.
  8. Perkembangan makna Hermeneutika dari sekedar ilmu interpretasi menuju kepada metodologi pemahaman dilontarkan oleh seorang pakar filologi, Friedriech Ast (1778-1841). Di pertengahan abad ke tujuh belas sebenarnya tanda-tanda menuju pergesaran makna itu sudah mulai terlihat. Keyakinan bahwa teks hanyalah perwakilan dari dunia mitos dan realitas masyarakat modern sebagai gambaran dunia ilmiah menjadi awal mula berubahnya penggunaan metodologi Hermeneutika dari sekedar disiplin ilmu yang mengkomunikasikan pesan-pesan Bible menjadi alat memahami dengan objek yang lebih terbuka.
  9. Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), seorang alumni dan dosen Universitas Halle (1805), filosof sekaligus pendeta mejadi babak baru perkembangan Hermeneutika. Dia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Modern sekaligus sebagai Pendiri Protestan Liberal. Dialah yang pertama kali berusaha membakukan Hermeneutika sebagai satu metode umum interpretasi yang tidak hanya tebatas pada kitab suci dan sastra. Karena berlatar belakan pendeta sekaligus filosof, Schleiermacher membelokkan makna hermeneutika menjadi metododlogi pemahaman dalam pengertian filsafat. Dia berpendapat bahwa Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Interpretasi yang benar menurut teori Schleiermacher tidak saja melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tapi juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Jika kesadaran pengarang dilihat dalam konteks kultural yang lebih luas, maka ia dapat memahami pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan Al Quran, teori ini irrelevan dan irrasional. Karena manusia tidak mungkin memproduksi kembali sikap mental Tuhan ketika mewahyukan Al Quran.
  10. Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof, kritikus sastra dan sejarawan asal Jerman, mengkritisi Hermeneutika Schleiermacher. Lagi-lagi terjadi pemaknaan baru yang kemudian dikenal dengan Hermeneutika Dilthey. Menurutnya, Hermeneutika adalah "teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan." Ia membelokkan makna Hermeneutika menjadi metodologi sejarah.
  11. Hans Georg Gadamer (1900-2002) yang datang setelah itu mengkritik Dilthey dan menekan Hermeneutika menjadi kajian ontologis yang lebih konsentrasi pada konteks tradisi filsafat barat. Ini antara lain dikarenakan Gadamer sendiri besar dilingkungan filsafat fenomeologi Jerman. Tidak lama kemudian Jurgen Hebermas yang berlatar belakang filsafat sosial Marxis mengkritik Gadamer dan menggeser makna Hermeneutika menjadi metode pemahaman yang bernuansa kepentingan (interest), khusunya kepentingan kekuasaan.
  12. Mohammed Arkoun, Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Sorbon dengan isu dekonstruksi yang menurutnya akan memperkaya keilmuan Islam. Dekonstrusi yang dia maksud adalah membongkar hal-hal yang selama ini telah menjadi kesepakatan umum di kalangan ummat Islam, menghilangkan nilai-nilai kesakralan, menekankan kajian pada aspek historis dan memulai kajian-kajian krititik Bible. Bagi Arkoun, mushaf yang ada saat ini tidak layak untuk disucikan, sebab nilai kebenarannya tidak sebagaimana yang ada pada zaman kenabian. Mushaf yang tertulis ini lebih tidak akurat, tidak outentik dan berkurang dari kitab yang diturunkan, yang masih dalam bentuk lisan. Menurut Arkoun, kajian yang dia lakukan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Zaid.
  13. Nasr Hamid Abu Zaid (1943-.....), Dosen Bahasa Arab dan Studi Al Quran di Universitas Kairo dan dosen tamu di Universitas Leiden sejak 1995 hingga sekarang. Ia mengaku sebagai seorang Islamolog dan namanya dikenal dengan isu kontroversialnya bahwa Al Quran adalah cultural product, atau dalam istilah Abu Zaid, Al Muntâj Ats Saqafy (produk budaya). Dalam kajiannya terhadap Al Quran, Abu Zaid menggunakan sebuah metodologi yang secara simplistis dipaksakan penyebutannya sebagai metode analisa teks bahasa-sastra (Nahju At Tahlîl An Nushûs Al Lughawiyah Al Adabiyah). Menurutnya, metode ini adalah satu-satunya metode yang mungkin digunakan dalam mengkaji pesan dan memahami Islam. Metode ini adalah bagian dari hermeneutika yang dipelajari Abu Zaid ketika dia berada di Pennsylvania, Phidelphia antara tahun 1978 hingga tahun 1980. Diantara karya-karyanya adalah Mafhûmun Nash dan Naqdul Khitâb Ad Dîny. Ia menuduh para ulama Islam terdahulu telah melakukan dikotomi antara realitas dan teks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar