Sabtu, 06 November 2010

KONTROVERSI HADITS AHAD DIKALANGAN ULAMA

A. Pendahuluan
Pembahasan seputar Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh Allah. Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana berpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti.
B. Definisi Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
Macam-macam hadits ahad; pertama; Hadits gharîb (hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya). Kedua; Hadits 'Azîz (diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya). Ketiga; Hadits Masyhûr (hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir)
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H)
C. Contoh-contoh hadits ahad

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان َ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Islam dibangun diatas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak Ilah yang hak kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji dan puasa ramadlan (dalam riwayat lain puasa Ramadlan baru haji)"

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, 'Iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman".

Dan di riwayat Imam Muslim

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman itu tujuhpuluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan salah satu cabang iman".

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya".


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, 'Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya dan semua orang".

قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka".

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya." Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Jihad di jalan Allah'. Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Haji yang mabrur.”

قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Ibnu Mas'ud mengatakan, "ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al An'am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, 'Siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim ?' lalu Allah menurunkan firmanNya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar"
hadits tentang Jibril yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bertanya Islam, iman dan ihsan, dan di Shahih Bukhari diringkas.

مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Apakah iman ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, pertemuan denganNya, para rasulNya dan beriman kepada hari kebangkitan.' Jibril bertanya, 'Apakah Islam ? Rasulullah n bersabda, 'Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang wajib, puasa Ramadlan. Jibril bertanya, 'Apakah Ihsan ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, 'Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu …"
hadits tentang utusan Abdul Qais yang datang kepada Rasulullah, lalu menyambut mereka dan memerintahkan kepada mereka empat perkara dan melarang dari empat perkara.

أَمَرَهُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصِيَامُ رَمَضَانَ وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah mereka agar beriman kepada Allah Azza wa Jalla semata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Tahukah kalian, apakah berimankepaada Allah semata itu? Mereka menjawab, 'Allah dan RasulNya lebih tahu. Beliau menerangkan, 'syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salalm itu Rasulullah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadlan dan memberikan seperlima dari ghanimah…"

hadits dari jalan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
"Bahwasanya rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'adz Radhiyallahu 'anhu ke Yaman, lalu rasulullah bersabda, 'Serulah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka".

Dan yang terakhir hadits masyhur dan telah diterima oleh para ulama.

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
"Sesungguhnya mantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik".

D. Pendapat Para Ulama Mengenai Hadits Ahad

1. Pendapat yang membenarkan hadits ahad bisa dijadikan hujjah diseluruh aspek

Ibnu Hajar berkata : "Hadits yang didukung dengan qarinah (Penguat), bisa
saja sampai tingkat memberikan ilmu ( keyakinan ). Hadits yang seperti ini ada
beberapa macam. Diantaranya yaitu hadits-hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori &
Muslim Dalam kitab Shahihnya. Walaupun hadits-hadits itu tidak sampai derajat
mutawatir, namun dia didukung dengan beberapa hal yang menguatkannya. Diantaranya:
a. Kesepakatan Bukhori & Muslim dalam periwayatannya
b. Kejelian mereka memilah Hadits yang Shahih dari yang lain
c. Sikap para ulama yang menerima secara utuh Kitab Shahih mereka

Ibnu Sholah dalam Muqoddimahnya berkata. "Semua riwayat yang telah
disepakati bersama oleh Bukhori & Muslim, semuanya telah diakui keshahihannya.
Kami hadirkan kpd anda contoh-contoh hadits Ahad :
a. Kenabian Adam.
b. Sepuluh orang yang dijamin masuk surga
c. Keutamaan kenabian Nabi Muhammad SAW atas seluruh nabi dan rosul
d. Pertanyaan malaikat Munkar & nakir dalam kubur
e. Beriman kepada Qadha & Qodar
f. Turunnya Nabi Isa

2. Pendapat yang hanya menjadikan hadits ahad boleh dipakai dalam hal amaliah bukan masalah Aqidah

Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah .

Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’

Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) .”

Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”

Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan ”

Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. ”

Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”

Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”

Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”

Issa ibn Aban (w. 220 H), murid dari Imam Hasan As-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya menyatakan secara jelas: “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi sebagai dalil amal perbuatan ”.
Ali ibn Musa al –Qummi (w. 305 H), dalam kitabnya (Khobar Ahad) menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
Imam At-Thobari (w. 310 H), dari Imam Al-Sarkhasi (Ushul Al-sarkhasi), Imam At-Thobari menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
PARA ULAMA HAMBALIYAH
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad Abu Zahra: “ Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang pada dalil-dalil syara’ ( secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau adalah seorang Ulama Ahli Sunnah………..Maka Imam Ahmad berpegang pada nash yang ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu Al-qur’an dan Hadis Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang Qoth’I juga berasal dari Allah SWT….” (Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah hal. 506).
Abu Bakar Al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr menyatakan, bahwa Imam Ahmad telah berkata: “Jika ada hadis ahad mengenai hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan demikian, tetapi saya tidak menyaksikan bahwa Nabi saw., benar-benar menyatakan demikian” ( Ma’anil Hadis).
Abu Ya’la, menyatakan: “Apabila umat sepakat atas hukumnya dan sepakat untuk menerimanya, maka hadis ahad berfaedah yakin dan tidak ada keraguan didalamnya ( jika umat tidak sepakat, berarti hadis ahad kembali pada status asalnya yaitu dalil yang menghasilkan Dzon –pent)”.
Abu Muhammad, menegaskan: “Hadis Ahad tidak berfaedah qoth’i. Dan inilah pendapat kebanyakan pendukung dan Ulama Mutaakhirin dari pengikut Imam Ahmad” (lihat Kitab Raudhah).
Abu Khatab ( Murid Imam Hambali) menyatakan: “ Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai dalil masalah amal perbuatan”.
Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli Dzohhir (pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
PENDAPAT PARA ULAMA SYAFI’IYAH
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari Al-Qur’an , karena Al-Qur’an adalah Mutawatir (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w. 505 H) berkata: “Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in tidak berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya: ‘’Adapun pendapat para Ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Qoth’I (yang menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” ( Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -pent).
Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata : ‘’Bahwa maslah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni’’. Lalu menambahkan: ‘’Barang siapa menolak Ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan’’ (Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent).
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah Shohih Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan : ‘’Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir, maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan Ib Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah diatas (Syarah Shohih Muslim juz 1\hal. 130-131).
Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam Yusuf Al-Kirmani bahwa : “Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah’’ (Fathul bari juz 8, bab khobar Ahad).
Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H) menyatakan : ‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).
PENDAPAT PARA ULAMA MALIKIYAH
Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Isfahani (w 430 H) berkata : “Hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu\dzoni, tetapi dapat dijadikan dalil dalam cabang Hukum Syari’at”.
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang bertentangan dengan amal Ahli Madinah (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 32).
Imam Malik ra. menegaskan : “Hadis Ahad apabila bertentangan dengan Qowa’id (kaidah-kaidah), maka ia tidak diamalkan (Fathul Bari juz 4\hal. 156).
PERNYATAAN DARI ULAMA LAINNYA:
Imam Asnawi menyatakan : “Syara’ memperbolehkan dalil dzoni dalam masalah-masalah amaliyah yaitu masalah furu’ tanpa amaliyah dalam masalah Qowaid Ushul Ad-din. Demikianlah Qowaid Ushul Ad-din sebagaimana dinukil oleh Al-Anbari dalam Kitab Syarah burhan dari para Ulama yang terpercaya” ( Nihayah Fi Ilm’ Al-Ushul).
Imam Ibn Taimiyah berkata : “ khobar ahad yang telah diterima (terbukti shohih-pent) wajib mewajibkan ilmu menurut Jumhur sahabat Abu hanafi, Imam Malikl, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan sahabat Imam Asy’ari seperti Al-Asfaraini dan Ibn faruk. Tetapi hadis Ahad hukum asalnya tidak berfaedah kecuali dzoni. Bila ia didukung dengan ijma’ ahlul ilmi dengan hadis lainnya maka ia dapat memberi faedah yang pasti (naik derajatnya menjadi hadis mutawatir maknawi –pent) (Lihat Majmu Fatwa juz 18, hal. 41).
Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu (yakin)” (Qawaidut Tahdis, hal. 147-148)
Imam Kasani menyatakan : “Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja” ( Badaa’iu shanaa’I juz 1\hal. 20).
Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata: “Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama” ( Syarh Asnawi Nihayah as-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214).
PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER
Syeikh DR. Rif’at Fauzi menegaskan: ‘’Hadis semacam ini (hadis ahad) tidak berfaedah yakin dan qoth’i. Ia hanya menghasilkan Dzon’’.
Syeikh DR. Abdurahman Al-Baghdadi, menyatakan: “Para Ulama sepakat bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah” (Lihat Kitab Radu’ alal Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah hal 191).
Syeikh DR. Muhammad Wafa’ menegaskan bahwa: ‘’Menurut Mayoritas Ulama hadis-hadis Rasul SAW terbagi menjadi dua, yaitu hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Sedang Ulama Hanafiyah menambahkan satu, yaitu hadis masyhur‘’. Kemudian veliau melanjutkan pembahasannya: ‘’Sedang Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak mencapai batas Muatawatir. Ia memberikan keraguan, serta tidak dapat memberikan ketenangan dan keyakinan’’ (Lihat kitab Ta’arudh al-adilati As-Syar’iyati min Al-Kitabi Wa As-Sunnahi Wa At-Tarjihu Bainaha, hal. 70).).
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal (Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam; hal 54).
Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzonni (Ilmu Mustholah Hadits, hal. 31).
Maulana M. rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan autentitasnya dari serangan para orientalis : “Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakanbahwa: “Hadis Ahad tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis” (Izhar Al-Haq juz 4).
E. Daftar pustaka
Sayyid Qutub --> Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294

Imam Syaukani --> Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak setidaknya bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].
Prof Mahmud Syaltut --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63.
Al-Ghazali --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Asnawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Bazdawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Al-Kasaaiy --> Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20
Imam Al-Qaraafiy --> Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.
Al-Qadliy --> Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib
Dr. Rifat Fauziy, --> Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.
http://syabab1924.blogspot.com/2010/10/pendapat-para-ulama-seputar-menolak.htm, 24 oktober 2010, 19.22.
http://yaummi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=148&Itemid=169, 24 0ktober 2010, 19.20.
http://keepfight.wordpress.com/2009/10/16/pendapat-ulama-tentang-hadits-ahad/, 24 0ktober 2010, 19.28.

HADITS-HADITS TENTANG HARTA FA'I

A. Latarbelakang Masalah
Belakangan ini kita kembali disuguhkan dengan pemberitaan tentang teroris dan pemberantasannya di tanah air. Ada yang menarik dan perlu untuk dikritisi dari pemberitaan tersebut, yakni awalnya Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang menggulirkan istilah fa'i (harta rampasan) ketika menegaskan para perampok Bank CIMB Niaga di Medan dan Toko Emas yang terjadi di beberapa kota, khususnya wilayah Sumatra. Berdasarkan pengakuan dari para tersangka yang berhasil ditangkap bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari jihad fi sabililah, jadi perampokan tersebut dikategorikan sebagai fa’i (harta rampasan yang ditinggal oleh kafir yang sedang diperangi) yang halalkan dalam Islam. "Bagi mereka (para teroris), merampok, fa'i, itu sah dan halal, karena harta itu didapat dari orang kafir". Adapun tujuan perampokan tersebut dikatakan oleh mereka adalah untuk persediaan logistic dalam latihan perang dan untuk membeli senjata.
Dalam Islam memang mengenal istilah harta fai' (lihat: QS. Al Hasyr [59]: 6-7, namun definisi dan penjelasan mengenai fai’ tidak sesederhana dan sesempit sebagaimana yang mereka pahami. Islam tidak mengajarkan untuk menghalalkan segala cara dalam memperjuangkan cita-cita Islam. Bahkan Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan yang merugikan apalagi menyebabkan nyawa orang-orang yang belum tentu bersalah melayang. Mengenai fai’ itu hanya bisa dilakukan dalam konteks dan dengan kondisi khusus, yaitu ketika musuh Islam (kafir harby) yang berada di suatu wilayah perang (darrul harb) pergi ketakutan akan datangnya pasukan Islam (dalam konteks perang fisik). Harta yang tidak sempat mereka bawa dan tertinggal atau ditinggal, maka itulah yang disebut harta fa'i, dan yang berhak menentukan serta membagikan harta fa’i tersebut adalah seorang pemimpin (kepala negara) atau penguasa muslim (khalifah) yang terpilih dengan ketentuan hukum Islam.
Menurut Syekh Abdul Baqi Ramdhun menjelaskan bahwa harta fa'i menurut istilah syar'i adalah segala apa yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui perang ataupun pengerahan kuda maupun onta. Seperti harta yang ditinggalkan orang-orang kafir karena takut diserang oleh kaum muslimin dan mereka melarikan diri, harta jizyah, harta pajak dan hasil kompensasi perdamaian, harta ahli dzimmah yang mati tidak punya ahli waris, dan harta orang murtad dari Islam apabila ia terbunuh atau mati.
Dilihat dalam konteks sejarah munculnya fa’i, dilatarbelakangi adanya pengkhianatan orang Yahudi Bani Nadhir yang enggan membantu membayar tebusan ganti rugi atas terbunuhnya dua orang muslim dari Bani Kilab yang tidak sengaja dibunuh oleh Amir bin Umaiyyah adl-Dhamri, serta rencana Bani Nadhir hendak membunuh Nabi Muhammad saw. Atas dasar itulah Nabi mengutus seorang utusan kepada mereka untuk menyampaikan pesan: “Keluarlah kalian dari negeriku karena kalian telah merencanakan pengkhianatan. Aku beri tempo 10 hari. Kalau setelah itu masih ada yang terlihat, akan kupenggal batang lehernya.”
Awalnya mereka setuju dengan keputusan yang Nabi buat, namun mereka berubah pikiran lantaran terbujuk rayuan Abdullah bin Ubay bin Salul yang menjanjikan akan melindungi mereka dengan dua ribu tentara, sehingga mereka bertekat untuk bertahan di benteng-benteng mereka. Lalu Rasulullah saw., memerintahkan para sahabatnya untuk memerangi mereka. Sebelum terjadi peperangan mereka sudah ketakutan melihat tentara Islam dan menyerah tanpa perlawanan. Kepada Rasulullah saw., mereka bersedia meninggalkan kota Madinah sebagaimana yang diinginkan beliau. Tetapi Rasulullah saw menjawab : “Sekarang aku tidak menerimanya kecuali jika kalian keluar dengan darah-darah kalian saja. Kalian boleh membawa harta yang dapat dibawa oleh unta, kecuali senjata.” Akhirnya mereka menerima keputusan ini dan keluar dengan harta yang dapat diangkut oleh unta mereka. Harta yang mereka tinggalkan itulah yang disebut dengan harta fa’i.
Tidak dipungkiri, di tengah-tengah kaum Muslim ada pemahaman agama yang keliru, yang kemudian menjadi dasar untuk melakukan aksi yang juga keliru. Dalam kasus fa’i (harta rampasan), sebagian kecil kelompok Muslim menganggap harta di luar kelompok mereka adalah seperti harta orang kafir, karena mereka berada diluar Negara Islam yang mereka klaim telah berdiri. Menurut Abdul Mu’thi seorang tokoh Muhamadiyah, sikap teroris ini muncul karena teroris tidak mengakui pemerintahan yang tidak sesuai dengan konsep mereka. Karena tidak mengakui, maka produk hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak harus dipatuhi. Oleh karena itu mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang sah, pemahaman mereka (teroris) yang tanpa hujjah menjadi pembenaran atas aksi-aksi kriminal untuk mengambil harta orang lain di luar kelompok mereka. Inilah kesalahan fatal dalam memahami makna fa’i.
Padahal, harta rampasan perang dalam Islam adalah harta yang diperoleh dari peperangan melawan orang kafir. Jadi dalam kondisi aman perampokan atas nama fa’i itu tidak benar. Kesalahan ideologi para teroris itu tidak bisa dihubungkan dengan Islam. Sebab Islam sudah memiliki aturan yang tidak pernah menghalalkan perampokan. Karena itu, jelas bahwa fa’i itu harus dipahami dalam konteks seperti apa dan kapan itu bisa terjadi.
Maka dengan alasan inilah yang menjadi latar belakang peneliti, untuk menulis karya ilmiah ini, dan peneliti ingin mencoba meluruskan kesalah pahaman dalam memahami maksud hadits Nabi Muhammad saw., yang berkaitan dengan harta fa’i.
Mengenai penelitian hadits, peneliti sengaja tidak mengkaji tentang keshahihan sanad dan matan atau yang lebih dikenal dengan Tahqiq al-Hadits, karena peneliti sudah melakukan pengecekan hadits, di luar penelitian ini. Sehingga peneliti berkesimpulan bahwa hadits yang peneliti camtumkan itu tergolong hadits yang shahih sanad dan matannya. sehingga peneliti hanya mengkaji tentang Ma’ani al-Hadits-nya saja.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemahaman tentang hadits-hadits harta fa’i (harta rampasan)?
2. Bagaimanakah kontekstualisasi hadits tentang harta fa’i di era kekinian?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemahaman tentang hadits-hadits harta fa’i.
2. Untuk mengetahui kontekstualisasi hadits tentang harta fa’i.


D. Manfaat Penelitian
1. Hasil dari penelitian ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Tafsir Hadits satu.
2. Memberikan kontribusi dan pemahaman baru kepada masyarakat mengenai hadits-hadits tentang harta fa’i.

E. Telaah Pustaka
Kajian pustaka ini merupakan uraian mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang masalah yang sejenis, sehingga dapat diketahui dengan pasti tentang posisi peneliti dan kontribusinya.
Mengenai objek yang penulis bahas, penulis menemukan beberapa karya tulis yang pernah membahas tentang harta fa’i yakni, Kitab Syarah ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqalani diterjemahkan oleh Amiruddin, dengan judul “Fathul Baari (16): Penjelasan Kitab Shahih Bukhari”. Dalam Kitab Syarah tersebut menjelaskan mengenai ketetapan seperlima harta rampasan perang, perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai pembagian harta fa’i dan ghanimah, serta menjelaskan mengenai macam-macam harta fa’i beserta pembagiannya.
Selanjutnya tulisan dalam bentuk buku, disusun oleh Muhammad Baltaji yang telah diterjemahkan Masturi Irham dengan judul “Metode Ijtihad Umar bin Khathab”. Dalam buku tersebut menjelaskan mengenai ijtihad Umar dalam hal harta rampasan perang berupa tanah dan sungai yang diperoleh melalui peperangan ataupun secara damai, semuanya dialokasikan untuk kepentingan umat. Sedang harta yang lainnya (harta bergerak) dibagikan kepada tentara yang ikut berperang. Kemudian menjelaskan mengenai perbedaan ghanimah dan fa’i, serta makna fa’i dan ghanimah.
Adapun karya dalam bentuk ensiklopedi yang disusun oleh Sa’di Abu Habieb, dengan judul “Persepakatan Ulama dalam Hukum islam; Ensiklopedi Ijmak”. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa orang yang berhak atas harta fa’i adalah kepala negara, ulama bersepakat bahwa orang kafir yang negerinya dikuasai secara damai atau peperangan tanahnya menjadi fa’i orang Islam, dan orang yang berhak menerima fa’i yaitu tentara yang maju perang, nafkah untuk keluarganya, serta keperluan lainnya. Sedang pembagian fa’i dibagi menjadi lima bagian sebagaimana harta ghanimah (rampasan perang).
Selanjutnya karya tafsir yang disusun oleh Hamka, dengan judul “Tafsir Al-Azhar (Juz 27)”, beliau dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir analitis atau tahlili yang bercorak adabi ijtima’i (social kemasyarakatan), penafsiran beliau mengenai harta fa’i menjelaskan mengenai sejarahnya, maknanya, serta pembagian dimasa Nabi dan masa sepeninggal Nabi.
Dalam sebuah karya kerjasama antara UII (Universitas Islam Indonesia) dan Departemen Agama berupa tafsir, dengan judul “Al-Qur’an dan Tafsirnya”. Adapun metode yang dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode Tafsir Iijmaly, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya secara global saja yakni tidak mendalam dan tidak secara panjang lebar, sehingga bagi orang awam akan lebih mudah untuk memahaminya. Dalam tafsir tersebut, mengungkapkan tentang sejarah harta fa’i, hukum hartanya, dan pembagiannya.
Ringkasan tafsir yang disusun oleh Muhammad ar-Rifa’i, dengan judul “Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 (surah ash-Shaaffat-an-Naas)”, adapun metode menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan Tafsir Tahlily juga dipertajam melalui analisis bi al-ma’tsur yakni menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, al-Qur`an dengan Sunnah, Qur`an dengan perkataan sahabat, dan menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Dalam hasil penafsiran beliau menjelaskan mengenai, sejarah harta fa’i, pengertiannya, dan pembagian harta fa’i.
karya dari M. Quraish Shihab, dengan judul “Tafsir Al-Mishbah Jilid 13 (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an)”, dalam kajian Tafsir. Metode penafsiran beliau menggunakan metode tafsir Tahlili, dengan menggunakan pendekatan tematik (maudu’i) yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Dalam penafsiran mengenai harta fa’i, yang terdapat dalam surat al-Hasyr (59) ayat 1-10, beliau menjelaskan mengenai pengertian fa’i, sejarahnya, orang-orang yang berhak mendapatkan harta fa’i beserta syarat-syaratnya, serta beliau menjelaskan mengenai bagaimana pembagian harta fa’i dimasa mendatang (sepeninggal Nabi Muhammad saw.).
Karya tafsir Sayyid Quthb, yang diterjemahkan oleh As’ad Yasin, dkk, dengan Judul “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an”. Beliau menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tafsir tahlîli dengan pendekatan tashwîr (deskriptif) yaitu menampilkan pesan al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Sehingga karya beliau digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra-budaya dan kemasyarakatan). Dalam penafsiran mengenai harta fa’i, beliau menjelaskan mengenai asbabun nuzulnya, pengertian fa’i, hukum dan pembagiannya.
Kemudian karya tafsir juga, yang disusun oleh Ahmad bin Musthofa al-Farran, dengan judul “Tafsir Imam Syafi’i jilid 3 (Surah Al-Hijr-An-Nas)”, Adapun metode yang dipakai dalam tafsir ini adalah metode tahlili, dengan pendekatan tafsir bil ma`tsur, yaitu menjelaskan al-Qur`an dengan al-Qur`an, al-Qur`an dengan hadits, atau dengan pendapat sahabat. Namun, tidak semua ayat ditafsirkan. Hanya ayat-ayat yang membutukan penjelasan saja yang tercantum dalam tafsir ini. Sehingga dalam tafsir ini hanya mencakup 95 surat dan 745 ayat, dan 60 % nya adalah ayat-ayat hukum. Dalam tafsir beliau yang terdapat dalam surah al-Hasyr ayat 6-10, beliau menjelaskan mengenai makna fa’i, setatus hartanya dan pembagian harta fa’i.
Karya tafsir Syaikh Imam Al-Qurthubi, yang telah diterjemahkan Dudi Rosyadi, dkk. Dengan judul “Tafsir Al-Qurthubi”(Surah Al-Hadid-At-Tahriim), metode yang beliau gunakan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an adalah menggunakan Tafsir Tahlily juga dipertajam melalui analisis bi al-ma’tsur dan diperkuat dengan analisis lughawy (kebahasaan). Adapun langkah-langkahnya yaitu, memberikan kupasan dari segi bahasa, menampilkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil, mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan, menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang dianggap paling benar. Dalam tafsir beliau dijelaskan mengenai sejarah fa’i, pengertiannya, perbedaan pendapat dikalangan ulama, macam-macam harta fa’i, dan pembagiannya.
Dari uraian di atas, dan sejauh penelusuran peneliti belum menemukan karya dalam bentuk skripsi, tesis, atau disertasi yang membahas mengenai harta fa’i. Peneliti sengaja hanya menampilkan sebagian dari karya tafsir yang setidaknya mewakili karya tafsir yang telah ada, peneliti tidak mencamtumkan dikarenakan keterbatasan kemampuan peneliti dalam memahami karya tafsir berbahasa Arab yang jumlahnya cukup banyak. Sejauh peneliti amati dari penelusuran terhadap sejumlah literatur sampai sejauh ini, belum ada yang membahas mengenai hadits-hadits harta fa’i dalam kajian ma’ani al-hadits, mengenai kontekstualisasi harta fa’i diera kekinian, yang sekarang menjadi buah bibir masyarakat secara umum, dengan demikian maka tema dalam penelitian ini layak untuk diteliti lebih lanjut.


F. Metode Penelitian
Sesuatu penelitian baik dalam pengumpulan data maupun pengolahannya pasti membutuhkan atau mengharuskan adanya suatu metode yang digunakan. Karena tanpa metode yang jelas maka penelitian tidak akan memperoleh hasil yang maksimal, sistematis, terarah, dan kemungkinan besar penelitian kabur. Metode merupakan cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Dalam kaitannya penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode library research (kepustakaan), adapun metodenya yaitu:
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data tentang penelitian ini dengan cara mengumpulkan data-data primer juga dengan data-data sekunder, adapun macam-macam sunber primer adalah pertama; Kutub al-Tis’ah (Kitab shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa’i, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ahmad bin Hambal dan al-Muwatta’ Imam Malik), Kitab Syarah Hadits yang memuat hadits tentang harta fa’i, serta Kitab Tafsir yang mengkaji masalah harta fa’i. Adapun dalam proses pencarian hadits peneliti menggunakan CD Mausu’ah Hadits Asy-Syarif dan Maktabah al-Syamilah. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, majalah, jurnal, artikel-artikel, atau melalui media internet atau yang lebih dikenal dengan google, yang tentunya terkait dengan tema yang dikaji dalam penelitian ini.

2. Analisis Data
Mengenai data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode:
a. Ma’ani al-Hadits
Dalam kajian ma’ani al-hadits ini, peneliti akan mengambil metode yang ditawarkan oleh Muhammad Syaltut dan menganbil salah satu dari metode Yusuf al-Qaradhawi sebagai penyempurnaan pemahaman hadits yang dikaji. Adapun metode-metodenya adalah:
1) Menghimpun hadits-hadits yang setema.
Menurut Yusuf Qaradhawi, untuk menghindari kesalah pahaman dalam memahami hadits Nabi, diperlukan cara yang efektif agar terhindar dari kesalah pahaman, yaitu dengan cara menghimpun hadits-hadits dan ayat-ayat al-Qur’an yang setema. Adapun prosedur dalam menghimpunnya adalah dengan cara menghimpun hadits-hadits shahih serta ayat Qur’an yang setema, kemudiaan mengembalikan kandungan hadits yang mutasyabih kepada yang muhkan, mengaitkan yang muthlaq kepada yang muqayyad dan yang ‘amm ditafsirkan dengan yang khashsh.
2) Mengkatagorikan hadits tasyr’i dan ghairu tasyr’i.
Dalam proses pengkatagorian, langkah yang dilakukan terlebih dahulu menentukan tema hadits yang akan diteliti. Setelah menemukan tema dan haditsnya, maka cara selanjutnya adalah mengkatagorikan apakah hadits yang diteliti itu, masuk dalam kategori syar’i atau ghairu syar’i. Dalam megkategorian ini, hadits Nabi dapat dibedakan menjadi dua yaitu;
a) Hadits tasyri’
Hadits tasyri’, oleh beliau dibagi menjadi dua yaitu:
(1) Tasyri’ khas (Posisi Nabi sebagi Rasul)
Tasyri’ khas merupakan hadits yang Nabi ucapakkan dalam posisi beliau sebagi Rasulullah. Artinya menyangkut hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ibadah, halal haram, aqidah, dan akhlak. Sehingga dalam pemahaman haditsnya bersifat tekstual, artinya menampilkan pemahaman apa adanya, yaitu dengan cara mengaitkan dengan hadits-hadits yang lain.
(2) Tasyri’ aam (Posisi Nabi sebagi imam dan qadhi)
Pemahaman hadits bersifat tekstual dan kontekstual, yaitu mengenai hadits tentang strategi perang, membagi zakat mal dan membagi harta rampasan perang, dan permasalahan-permasalahan shahabat.
b) Hadits ghairu tasyri’
Pemahaman terhadap hadits gahiru tasyri’ bersifat kontekstual, artinya pemahaman haditsnya disesuaikan dengan perkembangan zaman atau mengguakan ta’wil dangan syarat-syarat yang telah ditentukan ulama. Hadits ghiru tasyri’ adalah hadits yang disampaikan oleh Nabi mengenai kebutuhan manusia, kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat, dan kebutuhan kemanusiaan.








G. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni halaman depan, isi, dan penutup.
BAB Pertama, berisi pendahuluan yang meliputi penjelasan, latar belakang, batasan dari rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB Kedua, berisi tentang pemahaman para ulama hadits, fiqh, dan tafsir, yang tujuaannya untuk mendapatkan pemahaman dari para ulama, yang bisa digunakan untuk mempercepat penyelesaian dalam memahami atau Ma’ani al-Hadits tentang harta fa’i.
BAB Ketiga, berisi hadits-hadits fa’i yang telah ditahqiq oleh para ulama hadits.
BAB Keempat, berisi pemahaman (Ma’ani al-Hadits) tentang kontekstualisasi hadits-hadits harta fa’i (harta rampasan).
BAB Kelima, berisi penutup yang berfungsi sebagai penegasan kembali hasil eksplorasi tema, meliputi kesimpulan dan saran-saran.







DAFTAR PUSTAKA
Admin, http://www.alwaasit.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=115 19 Oktober 2010, Pukul 12.48.

Al-Farran, Ahmad bin Musthofa al-Farran, penerjemah: Imam Ghazali Masykur, dkk, Tafsir Imam Syafi’i (Surah Al-Hijr-An-Nas), (Jakarta Timur: Al-Mahira, 2008).

Buletin albalagh edisi 81 Tahun V Syawal 1431 H, http:// tanaasuh. com/ rampasan-perang-atau-perampokan/, 18 Oktober 2010, pukul 14.40.

Syaikh Imam Al-Qurthubi, penerjemah: Dudi Rosyadi, dkk, Tafsir Al-Qurthubi (Surah Al-Hadiid-At-Tahriim), (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2009).

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 27, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985).

http://daffodilmuslimah.multiply.com/reviews/item/104, [Disalin dari buku “Sirah Nabawiyah” karangan Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press, 20 Oktober 2010, pukul 3.52.

Ibnu Hajar al-Asqalani, penerjemah: Amiruddin; Abu Rania (Ed. ), Fathul Baari (16): Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
Baltaji, Muhammad, penerjemah: Masturi Irham; Muslich Taman (Ed. ), Ijtihad Umar bin Khathab, (Jakarta: KHALIFA, 2005).

M. Fachry, http://www. al-khilafah. co. cc/ 2010/ 09/ merampok-harta-fai-mujahidin-jat-angkat. html, 18 Oktober 2010, pukul 14.16.

M. Fachry/Arrahman, http://www. azzamalqitall. wordpress. com/ 2010/ 09/ 29/ merapok-harta-fa%E2%99i-mujahidin/ 18 Oktober 2010, pukul 14.21.

Nasib ar-Rifa’i, Muhammad, penerjemah: Syihabuddin, Kemudahan Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, (Surah ash-Shaffat-an-Anaas), (Jakarta: Gema Insani Press, 2000).

Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir Al-Mishbah, jilid 13, (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an), (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Syaltut, Muhammad, Al-Islam (Aqidah wa Syarii’ah), (Darul Qalam, 1966),

Abu Habies, Sa’di, penerjemah: Sahal Machfudz, dkk, Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam; Ensiklopedi Ijmak, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2006).

Quthb, Sayyid, penerjemah: As’ad Yasin, dkk, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an, Juz 28, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004).

Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: TERAS, 2008).

Tim Tashih (Departemen Agama, dan Universitas Islam Indonesia), Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990).