Jumat, 26 Februari 2010

TAFSIR PERASANGKA BURUK

A. Tafsir Surat Al-Hujuraat ayat 12

12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Asbabun nuzulnya:
Ayat ini turun berkenaan dengan seorang sahabat yang bernama Salman Al-Farisi apabila selesai makan, dia suka terus tidur dengan mendengkur. Pada waktu itu ada salah seorang yang mempergunjingkan perbuatannya, sehingga sampai terdenganr oleh nabi. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseoarang mengumpat dan menceritakan kejelekan atau keaiban orang lain.
Ayat ini memulai dengan perkataan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang beriman yang berbunyi: (يا يهاالذ ين امنوا اجتنبوا كثيرا من الظن) hai orang-orang yang beriman jahuilah oleh kalian kebanyakan buruk sangka terhadap sesama muslim, maksudnya ayat ini melarang orang beriman berburuk sangka terhadap orang lain bukan hanya kepada orang islam saja, tetapi berlaku untuk umum atau semua orang. Dengan bertujuan agar terhindar dari bisikan-bisikan yang bisa merampas kebaikan yang ada dalam dirinya yang dilontarkan oleh sekitarnya, dan menjaga kehormatan setiap individu. Kemudian ayat ini memberikan sebuah penekanan yang berbunyi (ان بعض الظن اثم) sesungguhnya berburuk sangka sesama muslim (semua orang) dengan persangkaan yang buruk adalah dosa. Adapun riwayat yang mendukung ayat diatas adalah sebagai berikut:
Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda; “Hindarilah olehmu berburuk sangka karena buruk sangka itu berita yang amat dusta, dan janganlah kamu memata-matai orang lain, jangan mecari-cari berita tentangnya, jangan saling mengungguli dalam jual beli, jangan saling membenci dan jangan saling mendiamkan. Tidak dijakan kalian hamba-hamba Allah yang bersauadara . Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudarnya lebih dari tiga hari.
Riwayat lain, dari Abu Barzakh Al-Aslami, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hai orang-orang yang beriman dengan lidahnya tetapi iman tidak masuk dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang Islam dan jalanlah kamu meneliti cacat-cacat mereka, karena baraang siapa yang meneliti cacat orang Islam, maka Allah akan meneliti cacatnya. Dan barang siapa yang diteliti cacatnya oleh Allah, maka dia akan dibukakan cacatnya ditengan rumahnya sendiri.
At-Tabrani juga meriwayatkan dari Harisah Ibnu Nu’mam ra. bahwa Rosulullah saw. bersabda: “Ada tiga hal yang lekat pada umatku, yaitu tayyarah (menduga hal buruk), dengki dan zhann (berburuk sangka terhadap orang lain). Seseorang laki-laki bertannya, “apakah yang dapat menghilangkan hal tersebut, ya Rasulullah dari orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu?”, Rasulullah bersabda “ apabila kamu mendengki maka mohon ampunan kepada Allah, dan apabila kamu buruk sangka maka janganlah kamu memeriksa benar tidaknya, dan apabila kamu menduga maka laksanakan saja rencanamu.”
Menurut Sayyid Quthub, tatkala larangan disandarkan atas banyak berperasangka, sedang aturannya menyebutkan bahawa sebagian perasangka itu merupakan dosa, maka pemberitahuan dengan ungkapan ini intinya agar manusia menjahui buruk sangka apapun yang akan menjerumuskaannya kedalam dosa. Sebab, ketidak tauan sangkaannya yang manakah yang menimbulkan dosa. Sedang Al-Maraghi berpendapat bahwa, persangkaan yang buruk itu diharamkan terhadap orang yang disaksikan sebagai orang yang menutupi aibnya, sholeh, dan terkenal amanatnya. Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar melakukan dosa, seperti orang yang masuk ke tempat-tempat pelacuran atau berteman dengan penyayi yang cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk sangka terhadapnya. Dari urian pendapat diatas penulis berpendapat bahwa, boleh seseorang itu berburuk sangka kalau memang sudah terbukti orang tersebut orang yang tidak baik, tetapi untuk orang yang sudah baik maka tidak boleh sesorang untuk berperasangka terhadapnya karena hal itu diharamkan, seperti dalam sebuah riwayat mengatakakan, “sesungguhnya Allah mengharamkan darah dan kehormatan orang Islam, dan disangka dengan perasangkaan yang buruk”. Sehingga dalam konteks perasangka buruk, itu tidak boleh bagi orang yang baik, boleh bagi orang yang buruk akhlak.

Setelah Allah SWT. Menyuruh untuk menjauhi kebanyakan buruk sangka, maka Allah melarang pula dari mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. yang berbunyi, (ولا تجسسوا ولايغتب بعضكم بعضا) adapun hadits yang mendukung dengan potongan ayat ini seperti riwayat yang diatas adalah riwayat bukhari dan muslim dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda; “Hindarilah olehmu berburuk sangka karena buruk sangka itu berita yang amat dusta, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, jangan mecari-cari berita tentangnya, jangan saling mengungguli dalam jual beli, jangan saling membenci dan jangan saling mendiamkan. Tidak dijakan kalian hamba-hamba Allah yang bersauadara . tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudarnya lebih dari tiga hari.”
Ada beberapa pengertian mengenai At-Tajassus sebagai berikut;
- At-Tajassus (memata-matai) adalah mencari-cari apa yang tersembunyi darimu.
- At-Tajassus (merasa-rasai) adalah mencari-cari berita mengenai saudaramu.
- At-Tajassus maksudnya berjual beli atas jual beli orang lain dengan cara saling mengungguli harga.
Menurut Sayyid Quthub, At-Tajassus kadang-kadang merupakan kegiatan yang mengiringi dugaan dan kadang-kadang sebagai kegiatan awal untuk menyingkap aurat dan mengetahui keburukan. Adapun dalil-dalil hadits yang memperjelas dan memperkuat ayat diatas adalah sebagai berikut;
Imam ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad Dijjin, sekretaris Uqbah, bahwasannya Rasulullah saw. bersabda; “Barangsiapa yang menutupi aib seorang mukmin, dia bagaikan menggali anak yang dikubur hidup-hidup dari kuburnya.”
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Rasyid bin Sa’ad, dari Mu’awiyah bin Abi Safyan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika kamu menyelidiki aib manusia, berarti kamu mencelakakan mereka atau nyaris mencelakakan mereka.”
Sedang ayat yang berbunyi, janganlah kamu menggunjingkan atau mencaci maki satu sama lain dengan sesuatu yang tidak disukai, maksudnya adalah menyebut-nyebut dengan terang-terangan, atau dengan isayarat, atau dengan cara lain yang dikategorikan gunjingan. Karena hal yang demikian dapat mengakibatkan api amarah orang yang digunjing, karena hati seseorang apabila diusik dengan sesuatu yang tidak mengenakan akan tersa sakit walau hal yang digunjingkan itu tidak sesuai dengan kennyataannya, apalagi sesuai dangan kennyataan. Adaapun sesuatu yang tidak disukai ketika digunjingkan adalah mengenai hartanya, agama, rupa, akhlak, harta, anak istri, pembantu, pakaian, dan lain-lain. menurut al-Hasan ghibah adalah kamu berkata-kata mengenai kejelekan orang lain tentang hal-hal yang ada padanya, atau hal-hal yang tidak ada padanya. Selanjutnya Allah memberikan perumpamaan bagi orang yang suka buruk sangka dan ghibah, dengan perumpamaan orang yang memakan daging saudarnya yang sudah mati. mengapa Allah memberikan perumpaman demikian? Karena ghibah tersebut berarti merobek-robek kehormatan, menghancurkan hati, yang serupa dengan merobek-robek daging. Kalau seseorang tidak mau atau tidak suka melakukannya maka janganlah berbuat demikian, karena hal itu merugikan dirisendiri dan orang lain.

Diakhir ayat tersebut berbunnyi (واتقواالله ان الله تواب رحيم) dan bertaqwalah kepada Allah (atas apa yang diperintahkan dan dilarang terhadapmu, waspadlah dan takutlah kepada Allah) sesungguhnya Allah menerima taubat (dari orang yang mau bertaubat kepadanya atas dosa yang ia telah lakukan) lagi maha belaskasih sayang terhadap orang yang mau bertau bat kepadanya.


B. Cara Menghindari Buruk Sangka
Adapun solusi untuk menghidari ghibah dan buruk sangka adalah sebagai berikut;
- Berteman dengan orang-orang yang baik atau benar dalam tuturkata, sehingga bisa masuk dalam budipekertinya dan merasa nyaman bila bersamanya karena mereka adalah perisai ketika mengalami musibah dan hiasan ketika senang.
- Jangan mudah bersumpah kepada orang lain, karena dengan mudah bersumpah bisa membuka peluang adannya ghibah, tetapi berikanlah jawaban yang pasti jangan meragukan.
- Jangan bertannya tentang sesuatu yang tidak ada pada orang lain, sehingga sesuatu itu seolah-olah ada pada dirinya.
- Jangan berbicara sesuatu yang tidak mengenakkan kepada orang yang diajak bicara.
- Berkatalah dengan jujur bila ditanya tentang diri yang diajak bicara, walau hal itu menyakitkanya.

C. Macam-macam Kebolehan ghibah
Ghibah tidak haram apabila dengan tujuan yang benar menurut syara’ yang tidak mungkin tujuan itu tercapai dengan melakukan ghibah adalah sebagai berikut:
- Penganiayaan dalam rumah tangga maksudnya orang dianiaya boleh mengadukan halnya kepada orang yang ia sangka, baik pengaduan secara keluarga, kepolisi atau pengadilan.
- Meminta tolong untuk merubah keburukannya dengan cara menceritakan semua kejelakannya dengan masud supaya sadar dengan keburukannya.
- Memberi peringatan atau rambu-rambu agar waspada seperti cacatnya para perowi dan orang yang berani memberi fatwa, padahal bukan ahlinya.

D. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa buruk sangka itu tidak boleh dilakukan kepada orang yang sholeh, sedang kepada orang yang buruk akhlak boleh dilakukan hanya untuk kehati-hatian atau kewaspadaan terhadapnya, sedangan ghibah tidak boleh atau haram apalagi disebar luaskan baik orang yang buruk akhlak atau orang yang sholeh. Dengan pengecualian yaitu untuk tujuan yang benar menurut syarat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai dengan melakukan ghibah itu dibolehkan. Keburakan seseorang itu bisa terhapus menjadi bersih dengan cara bertaubat menyesali perbuatannya dengan sungguh-sungguh tidak mengulanginya, dan meminta maaf terhadap orang yang pernah dighibah atau yang diburuk sangkai.

E. Penutub
Demikian yang bisa penulis sampaikan mudah-mudahan bermanfaat, apabila ada penulisan yang salah atau penjelasannya yang kurang tepat, penulis mohon kritik dan saran yang membangun, agar penulis lebih sempurna lagi dalam menyusun makalah.

F. Referensi
- Al-Quran dan Terjemah di Microsoft Word. Surat Al-Hujuraat ayat 12.
- K.H.Q. Shalaeh dkk, Asbabun Nuzul (latar belakang historis turunnya ayat-ayat Al-Qur’an). Bandung: CV Diponegoro. 2000.
- Sayyid Quthub, Penerjemah; As’ad Yasin, dkk. Tafsir fi Zhailail-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
- Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Penerjemah; Bahrun Abu Bakar, dkk. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV Toha Putra. 1993.

Rabu, 24 Februari 2010

Abu Dawut

A. Pendahuluan
Dalam pendahuluan ini penulis memaparkan ada dua tokoh yang terkenal dan namanyapun mirib dan sama-sama menghasilkan karya tulis dalam sebuah kitab yaitu yang pertama adalah Abu Dawud Al-Tayalisi, beliau menulis kitab Al-Musnid, dan yang kedua adalah Abu Dawud Al-Sijistani yang nama lengkapnya Imam Al Hafidz Al Faqih Sulaiman bin Imron bin Al Asy`ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Imron atau disebut dengan Amir- Al Azdy As Sajistaany atau dipanggil Abu Dawud. Beliau mengarang kitab yang terkenal dengan nama sunan Abu Dawud, kali ini penulis mengajak pembaca untuk mempelajari kekitab sunan Abu Dawud dari biografi beliau, sejarah kitabnya, hasil karya-karya beliau, metode penulisan kitabnya dan tanggapan dari ulama yang menerima dengan positif dan ulama yang negative terhadap karya beliau, berikut penjelasannya.

B. Biografi Abu Dawud
Beliau bernama lengkap Imam Al Hafidz Al Faqih Sulaiman bin Imron bin Al Asy`ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Imron atau disebut dengan Amir- Al Azdy As Sajistaany sebutan nama panggilan yang popular adalah Abu Dawud Al-Sijistanni, beliau dilahirkan pada tahun 202 H/817M di kota Sajistaan, menurut kesepakatan referensi yang memuat biografi beliau, demikian juga didasarkan keterangan murid beliau yang bernama Abu Ubaid Al Ajury sebelum beliau wafat berkata: aku telah mendengar dari Abi Daud ,beliau berkata : Aku dilahirkan pada tahun 202 H / 817 M.
Perkembangan keilmuannya
Tidak didapatkan berita atau keterangan tentang masa kecil beliau kecuali keterangan bahwa keluarganya memiliki perhatian yang sangat besar dalam hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, dan ini sangat mempengaruhi perkembangan keilmuan beliau di masa depannya. Keluarga beliau adalah keluarga yang terdidik dalam kecintaan terhadap hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan ilmu-ilmunya. Ayah beliau bernama Al Asy`ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahlil hadits.Beliau pertama kali mempelajari tentang Al-Qur’an dan kaidah Bahasa Arab sebelum menekuni Hadits setelah menekuninya maka berkembanglah ilmu Abu Daud dengan motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadits, sehingga beliau mengadakan perjalanan (Rihlah) dalam mencari ilmu sebelum genap berusia 18 tahun. Beliau memulai perjalanannya ke Baghdad (Iraq) pada tahun 220 H/835M dan menemui kematian Imam Affan bin Muslim, sebagaimana yang beliau katakan : “Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya” (Tarikh Al Baghdady 9/56). Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur.

Riwayat Perjalanan Mencari Ilmu
1. Tahun 221H/836M beliau datang ke Kufah dan mengambil hadits dari Al Hafidz Al Hasan bin Robi` Al Bajaly dan Al Hafidz Ahmad bin Abdillah bin Yunus Al Yarbu`iy (mereka berdua termasuk dalam guru-gurunya Imam Muslim).
2. Sebelumnya beliau berkelana ke makkah dan meriwayatkan hadits dari Abdulloh bin Maslamah Al Qo`naby (Wafat tahun 221 H/836M).
3. Di Damaskus mengambil hadits dari Ishaq bin Ibrohim Al Faradisy dan Hisyam bin Ammaar.
4. Tahun 224 H/839M pergi ke Himshi dan mengambil hadits dari Imam Hayawah bin Syuraih Al Himshy.
5. Mengambil hadits dari Ibnu Ja`far An Nafiry di Harron
6. Di Halab mengambil hadits dari Abu Taubah Robi` bin Nafi` Al Halab
7. Di Mesir mengambil hadits dari Ahmad bin Sholeh Ath Thobary, kemudian beliau tidak berhenti mencari ilmu di negeri-negeri tersebut bahkan sering sekali bepergian ke Baghdad untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal disana dan menerima serta menimba ilmu darinya.Walaupun demikian beliaupun mendengar dan menerima ilmu dari ulama-ulama Bashroh, seperti: Abu Salamah At Tabudzaky, Abul Walid Ath Thoyalisy dan yang lain-lainnya. Karena itulah beliau menjadi seorang imam ahlil hadits yang terkenal banyak berkelana dalam mencari ilmu.
Guru-Guru Beliau.
Guru-guru beliau sangat banyak, karena beliau menuntut ilmu sejak kecil dan sering bepergian kepenjuru negeri-negeri dalam menuntut ilmu, sampai-sampai Abu Ali Al Ghosaany mengarang sebuah buku yang menyebut nama-nama guru beliau dan sampai mencapai 300 orang, demikian juga Imam Al Mizy menyebut dalam kitabnya Tahdzibul Kamal 177 guru beliau.
Dan diantara mereka yang cukup terkenal adalah :
1. Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrohim bin Rahuyah.
2. Ali bin Al Madiny
3. Yahya bin Ma`in,
4. Abu Bakr ibnu Abi Syaibah
5. Muhammad bin Yahya Adz Dzuhly
6. Abu Taubah Robi` bin Nafi` Al Halaby
7. Abdulloh bin Maslamah Al Qo`naby
8. Abu Khoitsamah Zuhair bin Harb
9. Ahmad bin Sholeh Al Mishry
10. Hayuwah bin syuraih
11. Abu Mu`awiyah Muhammad bin Hazim Adh Dhorir
12. Abu Robi` Sulaiman bin Daud Az Zahrony
13. Qutaibah bin Sa`di bin Jamil Al Baghlany
(LihatTahdzibul Kamal 11/358-359).
Murid-Murid Beliau.
Demikian pula murid-murid beliau cukup banyak penulis hannya melampirkan beberapa saja diantaranya yaitu:
1. Abu `Isa At Tirmidzy, An Nasa`i
2. Abu Ubaid Al Ajury
3. Abu Thoyib Ahmad Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari beliau)
4. Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi kitab sunan dari beliau)
5. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al Faqih
6. Isma`il bin Muhammad Ash Shofar
7. Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau)
8. Zakariya bin Yahya As Saajy
9. Abu Bakr Ibnu Abi Dunya
10. Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab Nasikh wal Mansukh dari beliau)
11. Ali bin Hasan bin Al `Abd Al Anshory (perawi sunsn dari beliau)
12. Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi sunan dari beliau)
13. Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu`lu`y (perawi sunan dari beliau)
14. Muhammad bin Ahmad bin Ya`qub Al Matutsy Al Bashry (perawi kitab Al Qadar dari beliau).
(lihat Siyar A`lam An Nubala` 13/206 dan Tahdzibul Kamal 11/360).
Beliau adalah imam dari imam-imam Ahlisunnah wal jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah, demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu`tazilah, Murji`ah dan Syi`ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran islam yang telah disampaikan olah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji`ah dan Mu`tazilah.
Beliau wafat dikota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H (20 Februari 889) dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
C. Kitab-kitab Abu Dawud
Abu Dawud dalam menyusun kitabnya berdasarkan tertib bab Fiqh dan didalamnya hanya hadits-hadits yang berkaitan tentang hukum atau sunnah-sunnah yang berkenaan dengan hukum. Beliau menulis hadits sebanyak 500 ribu hadits dan hadits tersebut dipilih atau diambil sebanyak 4.800 hadits yang dimasukkan dalam kitab sunnannya. Adapun semua hadits yang beliau ulang-ulang berjumlah 5.274 hadits. Karya-karya beliau ada 20 kitab yang paling terkenal adalah kitab As-Sunan yang dijadikan rujukan para ulama kitab tersebut selesai disusun pada tahun 275 H juga dijadikan oleh beliau sebagai rujukan dalam mengajar hadits di Baghdad. Adapun perkataan beliau dalam kitab Sunannya adalah “saya menyebutkan dalam kitab ini hadits yang shoheh, yang menyerupainya (hadits shoheh) dan yang palindekat kepadanya ( hadits shoheh). Segala haits yang terdapat padanya kelemahan yang sangat maka saya meneterangkan”. Juga beliau berkata: “Tidak ada dalam kitab Sunan yang aku susun ini yang diambil dari orang yang matruk. Apabila ada didalamnya haits yang munkar, nicaya aku menerangkanya bahwa hadits tersebut munkar dan didalam bab itu tidak ada hadits yang selain dari padanya”. Guru beliau yang bernama Ahmad bin Hambahal dan Ibrahim Al-Harabi seorang ulama hadits menyatakan kitab sunan Abu Dawud adalah “kitab ini bagus dijadikan rujukan dalam membahas hadits” sedangkan Ibrahim berkata “Hadits telah dilunakkan oleh Abu dawud sebagai mana Nabi Dawud bias melunakkan besi”. Selama 20 tahun kurang lebih beliau berhasil menghasilkan karya tulis atau kitab yang penulisannya dikta Tarsus yang berada di basrah, adapun karya beliau adalah
1. Al-Marasil
2. Masa’il Al-Imam Ahmad
3. Al-Nasikh Wa Al-Mansukh
4. Risalah Fi Washf Kitab Al-Sunan
5. Ai-Zuhd
6. Ijabt’an Sawalat Al-‘Ajurri
7. As’ilah’an Ahmad bin Hambal
8. Tasmiyat Al-Akhwan
9. Kaul Qadr
10. Al-Ba’ats wa Al-Nusyur
11. Al-Masa’il allati Halafah ‘Alaih Al-Imam Ahmad
12. Dala’il Al-Nubuwat
13. Fadhail Al-Anshar
14. Musnad Malik
15. Al-Du’a
16. Ibtida’ wa Al-Wahyi
17. Al-tafarrud fi Al-Sunnah
18. Akhbar Al-Kahawarij
19. A’lam An-Nubuwat
20. Sunan Abu Dawud
Menurut riwayat Abu Ali bin Ahmad bin ‘Amr al-Lu’lu’I Al- Basri bahwa Dari karya beliau diatas karyanya yang paling popular adalah kitab Sunan Abu Dawud, ktab tersebut selesai ditulis pada tahun 275 H. Dengan adanya hasil karya beliau maka mengangkat keberadaan Sunan Abu Dawud kedalam kategori “Kutub Al-A’immah Al-Sittah” setelah Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi.

1. Metode Penyusunan kitab Sunan Abu Dawud
Seperti yang telah penulis singgung diatas bahwa kitab sunan beliau menurut para ahli hadits adalah ktab yang penyusunannya berdasarkan bab-bab fiqh seperti, thaharah, sholat, zakat, puasa dan sebagainya dan dalam kitab ini berisikan hadits-hadits yang marf’u, tidak memberikan hadits yang mauquf atau maqtu’ ataupun munkar.
Metode yang dipakai oleh beliau adalah dengan mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hokum berbeda dengan metode yang dipakai oleh ulama-ulama sebelumnya contoh Imam Ahmad bin Hambal kitab Musnid, Imam Bukhori serta Muslim dalam menyusun kitabnya masing-masing hannya membatasi pada hadits-hadits yang shoheh saja. Adapun dalam menyusun kitab beliau memaparkan dua hadits atau empat buah hadits saja dalam setiap babnya walaupun masih ada hadits shoheh yang lainnya, dan menurut beliau itu sudah cukup sebagai pegangan hidup. Seperti contoh hadits pertama tentang niat, kedua tentang ajaran islam yang mendorong orang untuk melakukan suatu perbuatan yang membawa manfaat didunia dan akhirat, yang ketiga tentang menata moral manusia atau orang lain yang jauh dari sifat sombong, egois, iri, dengki dan lain-lain, dan yang terakhir hadits tentang halal dan haram.
2. Sitematika Penyusunan Kitab Sunan Abu Dawud
Adapun system penyusunannya seperti yang sudah penulis paparkan bahwa penyusunan berdasarkan urutan bab-bab dalam Fiqh yang tujuannya lebih memudahkan bagi pembaca dalam mencari hadits yang dikehendaki atua bab yang mau diambil, adapun urutan dalam penulisannhya sebagai berikut:



NO NAMA KITAB JUMLAH
1 Kitab Al-Thaharah 143 390
2 Kitab Al-Sholat 367 1165
3 Kitab Al-Zakat 47 145
4 Kitab Al-Luqatah - 20
5 Kitab Al-Manasik 98 325
6 Kitab Al-Nikah 50 129
7 Kitab Al-Talaq 50 138
8 Kitab Al-Saum 81 164
9 Kitab Al-Jihad 182 311
10 Kitab Dahaya 20 56
11 Kitab Al-Said 4 18
12 Kitab Al-Wasaya 17 23
13 Kitab Al-Fara’id 17 43
14 Kitab Al-Kharaj Wa Al-Imarah 40 161
15 Kitab Al-janaiz 84 153
16 Kitab Al-Aiman wa Al-Nuzur 32 84
17 Kitab Al-Buyu’ wa Al-Ijarah 92 245
18 Kitab Al-Aqdiyah 30 70
19 Kitab Al-‘IIm 13 28
20 Kitab Al-Asyribah 22 67
21 Kitab Al-At’imah 55 119
22 Kitab Al-Tib 24 71
23 Kitab Al-‘Atqu 15 43
24 Kitab Al-Huruf wa Al-Qira’ - 40
25 Kitab Al-Hammam 3 11
26 Kitab Al-Libas 47 139
27 Kitab Al-Tarajjul 21 55
28 Kitab Al-Khatam 8 26
29 Kitab Al-Fitan 7 39
30 Kitab Al-Mahdi - 12
31 Kitab Al-malahim 18 60
32 Kitab Al-Hudud 40 143
33 Kitab Al-Diyat 32 102
34 Kitab Al-Sunnah 32 177
35 Kitab Al-Adab 108 502

Dari data diatas nampak jelas bahwa karya beliau hanyalah berisikan kumpulan hadits-hadits tentang hukum, menjadikan kitab-ktab beliau berbeda dengan ulama yang sebelumnya dalam menyusun kitab yang berdasrkan pengambilan hadits dari Nabi SAW. Abu Dawud dalam memberikan penjelasan mengenai kitab sunannya secara garis besar beliau membagi hadits kedalam lima bagian yaitu:
1. Shohih lidzatihi artinya hadits tersebut diriwayatkan oleh rowi yang adil, kuat ingatannya (dhobit), sanadnya bersambung, tidak cacat (berillat) dan tidak janggal.
2. Shoheh ligairihi artinya hadits yang kulitasnya hasan tetapi diangkat oleh hadits yang sama tapi kedudukannya shoheh sehingga hadits tersebut naik menjadi shoheh ligairihi (menyerupai hadits shoheh).
3. Hasan lizatihi artinya hadits yang sanadnya bersambung, penukilnya adil tapi ingatanya terhadp hadits tidak terlalu kuat, dan jauh dari illat atau penyakit, atinya hasan lizatihi itu hadits hasan dengan sendirinya, sedangkan hasan ligairihi adalah hadits yang terangkat oleh hadits lain yang kualitasnya hasan lizatihi.
4. Hadits do’if atinya hadits yang tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shoheh ataupun hasan.

D. Pendapat dan Kritik Para Ulama Terhadap Kitab Sunan Abu Dawud
Adapun opini ulama yang positif terhadap kitap Sunan Abu Dawud yaitu:
1. Al-khattabi berkata: “ketahuilah, Kitab Sunan Dawud adalah sebuah kitab yang mulia yang belum pernah disusun sebuah kitab yang menerangkan hadits-hadits hukum seperti ini”.
2. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat: “Kitab Sunan Abu Dawud memiliki kedudukan tinggi dalam dunia Islam dan pemberi keputusan bagi perselisihan pendapat.
3. Ibn Al-‘Arabi, mengatakan: “Apabila seseorang telah memiliki kitabullah dan kitab Sunan Abu Dawud, maka tidak lagi memerlukan kitab lain”.
4. Imam Al-Gazali berkata: “Kitab Sunan Abu Dawud Sudah bagi Para Mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits hokum”.
Opini ulama yang mengkritik terhadap kitab Sunan Abu Dawud adalah:
Ibn Al-Jauzi seorang ulama hadits yang terkenal dengan bermadzhab Hambali yang mengkritik kitab Sunan bahwa Al-Jauzi menemukan hadits-hadits Maudhu’ (palsul) dalam kitab Sunan Abu Dawud berjumlah 9 hadits, tetapi oleh Jamaludin Al-Suyuti dalam kitabnya Al-La’ali Al-masnu’ah fi Ahadits Al-Maudu’ah dan Ali bin Muhammad bin Iraq Al-Kunani dalam kitabnya Tarjih Al-Syari’ah Al-maudu’ah dibalikkan kritikan itu dan dijelaskan kembali hadits yang dikritik oleh Jauzi.
E. Syarah Sunan Abu Dawud
Kitab Syarah adalah kitab yang menerangkan dan menafsirkan kitab sunan Abu dawud, adapun kitab-kitabnya sebagai berikut:
1. Ma’alim Al-Sunan adalah kitab syarah yang membahas tentang masalah bahasa, meneliti riwayah, adab dan membahas masalah hukum. Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Ibrahim bin Khattab Al-Bisti Al-khattabi (w. 388 H).
2. ‘Aun Al-Ma’bul Syarah Sunan Abu dawud adalah kitab ini menjelaskan tentang kata-kata sulit, menguatkan hadits yang satu dengan yang lainnya secara ringkas, dan menjelaskan masalah dalil yang dipilih oleh imam Mazhab-mazhab secara detail atau menyeluruh. Kitab ini ditulis oleh Syekh Syafaratul Haq Muhammad Asyraf bin Ali Haidar Al-Siddiqi Al-Azim Abadi (abad 14 H).
3. Mukhtasar sunan Abu Dawud ialah kitab yang menunjukkan kelemahan sebagian hadits kitab ini ditulis oleh Al-Hafid Abdul Azhim bin Abdul Qawi Al-Munziri (W. 656).
4. Al-Manhal Al-Azbu Al-Murud adalah kitab yang membahas tentang nama perowi, menjelaskan kata sulit, mengali masalah hokum dan adab tetapi tidak selesai kitabnya ditulis beliau wafat, kitab ini ditulis oleh Al-Subki.

F. Kesimpulan
Abu Dawud adalah seorang ulama hadits yang lebih memusatkan dan menghabiskan hidupnya untuk mempelajari ilmu hadits, sehingga dapat menghasilkan 12 buah kitab. Yang terkenal yaitu kitab Sunan Abu Dawud yang dijadikan oleh beliau sebagai kitab referensi dalam mengajarkan tentang hadits terutama di baghdad, juga oleh para ulama menjadikan kitab beliau sebagai kitab rujukan dan menjadi hakim antara ulama dengan para fuqaha’ yang berlaianan mazhab serta dijadikan pedoman atau pegangan ulama’ Irak, Mesir, Maroko.
Juga kitab sunan Abu Dawud lebih memusatkan pada hadits-hadits yang berkaitan tentang hukum dan susunan kitabnya berdasarkan bab-bab fiqh, yang bertujuan untuk memudahkan dalam mencari hadits yang berkaitan dengan maslah tertentu, disamping juga dalam kitab beliau sudah dalam bab-bab secara sistematis. Begitu banyak karya beliau dalam menulis sebuah kitab demi untuk kejayaan Islam.
G. Referensi
- Subhi As-Sholeh, Membahas Imu-Ilmu Hadits, Pustaka Firdaus. 2007
- Nurkholis, membahas Kitab Hadits, UAD. 2002
- Dosen Tafsir Hadits Fakultas Usuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadits, Teras. 2003.
- Hasbi Ash Shiddiqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang. 1958.

Selasa, 23 Februari 2010

PERKAWINAN LINTAS AGAMA MENURUT MAZHAB EMPAT

A. Pendahuluan.
Adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S. Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada beberapa kelompok suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya melakukan hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari makna Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan tegas melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik maupun ahlul kitab, demikian pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita musyrik, kedua bentuk perkwinan ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila perkawinan itu antara seorang pria Islam dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana status perkawinan mereka, berdasarkan zahir ayat 221 Q.S. al-Baqarah maka boleh seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian halnya menurut pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula ulama yang melarang perkawinan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana ini penulis akan mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab empat dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini.

B. Pembahasan.
1. Pengertian Perkawinan.
Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para pakar hukum mengenai pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam perkawinan tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa, selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam, menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan Pror. Dr. Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan dengan arti dari Q.S Yaa Siin : 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun : 27, bahwa perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda dengan rasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.

Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah.
Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia sakinah mawaddah wa rahmah, guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya, sedangkan perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita muslim dengan seorang pria atau wanita non Islam.

2. Hukum Perkawinan Lintas Agama
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik. Yang menjadi permasalahan rumit dan pelik disini adalah hukum perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar dalam masalah kawin beda agama ini. Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama ini, itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan antar agama ini.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.
Apa bila terjadi perkwinan antara seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non Muslim baik ahl al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah (1990 : 95) ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Hal ini sebagaimana dilansir dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221, yang artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian juga halnya bila perkawinan itu dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non-muslim, baik Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama haramnya dengan mengawini wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab juga telah berlaku syirik dengan menuhankan nabi Isa. Alasan lain yang mengharamkan perkawinan jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya yaitu Q.S. Al-Maidah : 5 telah dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya, ia adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam keluarganya, ia juga harus mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungannya khususnya untuk anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa apabila dihawatirkan suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah, maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama samawi.
2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina)
3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Alquran yakni Q.S. al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti sosial yaitu Noryamin Aini yang melakukan penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yokjakarta mendapatkan hasil yang mengejutkan, dimana figur seorang ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Kenyataan dari data ini sungguh dapat meruntuhkan asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang disebutkan oleh Maulana Muhammad Ali yang menyatakan bahwa seorang wanita muslim yang menikah dengan pria non muslim akan menemukan banyak permasalahan dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan antar agama.
Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa para ulama fiqh sepakat mengharamkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita muslim dengan seorang pria non-muslim apakah dia dari golongan ahlul kitab, ataukah musyrik.

3. Perkawian Lintas Agama menurut Mazhab Empat
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.

2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.

3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.

C. Kesimpulan
Perkawinan lintas agama antara muslim dan muslimah dengan non muslim musyrik pada hakikatnya diharamkam menurut ajaran Islam (Jumhur Ulama). Namun terdapat perbedaan pendapat jika perkawinan itu antara seorang muslimah dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sedangkan antara seorang muslim dengan seorang perempuan ahli kitab sebagian pendapat membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat memengaruhi perempuan dalam suatu keluarga. Penulis sependapat dengan Putusan MUI tahun 1980 yang berpendapat seperti di atas.
Kelompok pemikir liberal-pluralis semisal Jaringan Islam Liberal (JIL) beranggapan bahwa semua agama sama dan oleh karena itu tidak mempersoalkan perkawinan antar agama karena semua agama menurut mereka membawa dan mengajarkan kebenaran.
Wallahu A’lamu Bis shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi Ahmed An-Naim, 2001. Dekonstruksi Syari’ah (Terj) Bandung: Mizan.
Abdul Azis Dahlan, (Ed.) 2006. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.
Ahmad Shalaby, 2001. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah.
Al-Jaziri, 1969. Kitab fiqh ‘ala mazahibul al-arba’ah, Juz IV, Beirut .
Ali Al-sabuni, 1972, Tafsir Ayat Ahkam, , juz I Makkah: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
Amir Syarifuddin, 2007. Garis-garis besar Fiqh, Bogor: Kencana.
............., 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana.
Chuzaimah T. Yanggo dan .A.Hafiz Anshary, (ed). 1996 Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK.
Departemen Agama RI, 1999 : Kompilasi Hukum Islam. Jakarta.: Proyek Pengadaan Departemen Agama RI.
Departemen Agama RI, 2003. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Jakarta: Depag RI.
Ibnu Rusyd, 1986. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Lahabi.
Kartini Kartono, 1997 , Pantologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Muhammad Syaltuth, t.t. Al-Fatawa,Mesir: Dar al- Qolem.
Sayuti Thalib, 1986. Hukum Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: UI Press.
Sayyid Sabiq, 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT. Al Ma’arif.
Setiawan Budi Utomo, 2007. Fiqh Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani.
Yusuf al-Qordawi, 1978. Huda al-Islam Fatawa Mu’asiraoh,Kairo: Dar Afaq.
Zuhairi Misrawi, Kawin beda Agama, www.islamemansipatoris.com . diakses pada 1 Mei 2008.

Senin, 22 Februari 2010

Al-KASYSYAF KARYA AL-ZAMAKHSYARI


A.        BIOGRAFI AL-ZAMAKHSYARI’

1.        Riwayat hidup Al-Zamakhsyari’
Nama lengkap ‘Abd Al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn ‘Umar Al-Zamkhsyari’ dipanggail Al-Zamkhsyari’, lahir didaerah Zamkhsyar sebuah kota kecil Kawarizmi pada hari rabu 27 Rajab 1075 M pada masa pemerintahan Sultan Jalal Al-Din abi Fath Maliksyah, kelurga beliau adalah keluarga yang kekurangan (miskin) tetapi alim dan  taat beragama.
Beliau menuntut ilmu pertama kali ke Bukhara yaitu puasat pengetahuan dan terkenal dengan sastrawan, kemudian beliau belajar kepada Abu Mudar Al-Nahwi (W. 508) didaerah Khawarizm dan menjadi murid terbaik menguasai bahasa atau sastra Arab, logi, filsafat, dan ilmu kalam. Setelah itu beliau belajar keBagdad dan mengikuti pengajian hadits dengan Abu Al-khattab Al-Batr Abi Sa’idah Al-Syafani serta belajar fiqih Hanafi dengan Al-Syarif ibn Al-Syajari. Tapi beliau belum puas akhirnya ia bertekat untuk membersihkan dosa-dosanya dari sifat abisi yang mengedepankan mendapat kedudukan yang tinggi di pemerintahana sehingga beliau ingin hidupnya bermakna untuk agamanya, setelah itu beliau belajar kitab Sibawaihi yaitu pakar grametika Arab yang terkenal di Mekkah selama dua tahun. Beliau menghabiskan waktunya untuk ilmu dan menyebarkan faham Mu’tazilah sehingga banyak karya beliau lebih dari 50 buah yang menyangkup beberapa bidang dan sebagian karyanya masih dalam bentuk manuskripsi.

2.        Karya-karya Al-Zmakhsyari’
a.      Dibidang tafsir: Tafsir Al-kasysyaf ‘an Haq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujub Al-Ta’wil.
b.      Bidang Hadits: Al-Fa’iq fi garib Al-Hadits.
c.       Bidang Fiqh: Ar-Ra’id fi Al-Faraid.
d.      Bidang Ilmu Bumi: Al-Jibal wa Al-Amkinah.
e.      Bidang Akhlaq: Mutasyabih Asma’ Al-Ruwat, Al-Kalim Al-Nabawing fil Al-Mawa’iz Al-Nasa’ib Al-Kibar Al-Nas’ib Al-Sigar, Maqamat Fil Al-Mawa’iz, kitab fi Manaqib Al-Imam Abi Hanifah.
f.        Bidang Sastra: Diwan Rasa’il, Diwan Al-Tamasil, Taliyat Al-Darir.
g.      Bidang Ilmu Nahwu: Al-Namuzaj fi Al-Nahwu, Syarh Al-Katib Sibawaih, Syarh Al-Mufassal fi Al-nahw.
h.      Bidang Bahasa: Asas Al-balaghah, Jawahir Al-Lughah, Al-Ajnas, Muqadimah Al-Adab fi Al-Lughah.

B.        Tafsir Al-kasysyaf
1.      Latarbelakang Penulisan Tafsir Al-kasysyaf
Al-Zmakhsyari’ memulis kitabnya dengan judul Al-kasysyaf ’an Haqaiq Al-Tamzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil. Beliau terimpirasi dengan adanya permintaan kelompok  Mu’tazilah yang menamakan dirinya Al-Fi’ah Al-Najiyah Al-Adliyah, beliau mengatakan “ Mu’tazilah menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna Al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat didalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya”. Beliau berhasil menyelesaikan tafsirnya  dalam waktu 30 bulan dimulai di Mekkah tahun 526 H, dan selesai pada hari senin 23 Rabi’ul Akhir 528 H.
Adapun buku yang dijadikan beliau sebagai rujukan atau referensi adalah sebagai berikut:
a.      Sumber Tafsir
1.      Tafsir Mujahid (w 104 H).
2.      Tafsir ‘Amr ibn ‘As ibn ‘Ubaid Al-Mu’tazili (w. 144 H).
3.      Tafsir Abi Bakr Al-Mu’tazili (w. 235 H).
4.      Tafsir Al-Hajjaz (w. 311 H).
5.      Tafsir Rumani (w. 382 H).
6.      Tafsir Ali bin Abi Talib dan Ja’far Al-Sidiq.
7.      Tafsir dari kelompok Jabariyah dan Khawarij.

b.      Sumber Hadits
Beliau lebih mengedepankan hadits dari Shahih Muslim walau hadits riwayat yang lain dicamtumkan tetapi jumlahnya sedikit sekali dan beliau menggunakan istilah fi Al-hadits dalam periwayatannya.

c.       Sumber Qira’at
1.      Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud.
2.      Mushaf Haris ibn Suwaid.
3.      Mushaf Ubay bin ka’ab.
4.      Mushaf ulama Hijaz Dan Syam.

d.      Sumber Bahasa dan Tata Bahasa
1.      Kitab Al-Nahwi karya Sibawaihi (w. 146 H).
2.      Islah Al-Mantiq karya Ibn Al-Sukait (w. 244 H).
3.      Al-Kamil, karya Al-Mubarrad (w. 244 H).
4.      Al-Mutammim, karya Abdullah Ibn Dusturiyah (w. 285 H).
5.      Al-Hujjah, karya Abi ‘Ali Al-Farisi (w. 377 H).
6.      Al-Halabiyyat, karya Abi ‘Ali Al-Farisi (w. 377 H).
7.      Al-Tamam, karya Ibn Al-Jinni (w. 392).
8.      Al-Muhtasib, karya Ibn Al-Jinni (w. 392).
9.      Al-Tibyan, karya Abi Al-Fath Al-Hamdani.

e.      Sumber Sastra
1. Al-Hayaran karya Al-Jahiz.
2. Hamasah karya Abi Tamam.
3. Istaghfir dan Istaghfiri karya Abu Al-‘Abd Al-Mu’arri.

2. Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir Al-kasysyaf disusun dengan tertib mushafi yaitu berdasarkan urutan surat dan ayat dalam mushaf ‘Usmanai. Metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlili yaitu meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat. Beliau juga menyingkap aspek munasabah yaitu hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya atau antara satu surat dengan surat laiannya, sesuai dengan tertib susunan surat-surat dalam Mushaf ‘Usmani. Dan sebagian besar penafsirannya berorientasikan kepada rasio (ra’yu), maka tafsir Al-kasysyaf  dapt dikategorikan pada tafsir bi Al-Ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (Nas Al-Qur’an dan hadits).

2.        PENILAIAN ULAMA TERHADAP TAFSIR AL-KASYSYAF
Berikut ini penilaian ulama’ terhadap tafsir beliau:
a. Imam Busykual
Imam Busykual meneliti dua tafir Ibn ‘Atiyyah dan tafsir Al-Zamakhsyari beliau beropini: “Tafsir Ibn ‘Atiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedang tafsir Al-Zamakhsyari lebih ringkas dan mendalam”.
Opini beliu yang negatif adalah Al-Zamakhsyari dalammenafsirkan Al-Qur’an sering menggunkan kata-kata sukar dan banyak menggunkan syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya dan sering menyerang mazhab lain.
b.      Haidar Al-Harawi
Opini beliau: “Tafsir Al-Kasysyaf merupakan tafsir yang tinggi nilainya dari pada tafsir-tafsir sebelumnya dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan maupun pendalamannya.
Opini beliu dari segi kekurangannya:
a.      Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tampa dipikir lebih mendalam.
b.      Kurang menghormati ulama’ lain yang tidak sama golongannya.
c.       Terlalu banyak menggunakan syair-syair dan pribahasa yang penuh kejenakaan.
d.      Sering menyebut Ahli Sunnah wa Al-Jama’ah dengan tidak sopan.
c.       Ibn Kaldun
Ibn Kaldun berpendapat tentang tafsir Al-Kasysyaf adalah tidak ada tafsir yang paling baik dan paling mampu dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an  dengan pendekatan bahasa dan balaghah serta i’rabnya.
Kekurangan tafsir Al-Kasysyaf Ibn Kaldun mengatakan “ Dlam tafsir Al-Zamakhsyari sering membela mazhabnyz dalam menafsirkan Al-Qur’an. 
d.      Mustofa Al-Sawl Al-Juwaini
Beliu berpendapat bahwa Al-Zamakhsyari seorang ulama yang panatik dalam membela pahamnya sehingga penafsirannya lebih condong pada mazhab Mu’tazilah.
e.      Ignaz Goldziher
Pendapat beliau terhadap tafsir Al-Kasysyaf adalah tafsir Al-Zamakhsyari sangat baik tetapi pembelaan mazhabnya sangat berlebian.
f.        Muhammad Husain Al-Zahabi.
Tafsir Al-Kasysyaf adalah tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah Al-Qur’an.
Peniliaan beliau dalam segi kekurangannya: “Tidak bisa dijadikan pegangan atau rujukan tafsir beliau, karena terlalu fanatik  dengan mazhab lain dalam membela Mu’tazilah, sehingga penafsiran ayat yang tidak sesuai dengan gilongannya dibelokkan agar sesuai”.

3.        KESIMPULAN
a.      Al-Zamakhsyari’ adalah seorang ulama islam yang pandai atau ahli dalam bidang bahasa dan sastra arab, sekaligus seorang ulama yang fanatik dengan mazhab lain.
b.      Tafsir beliau adalah tafsir yang terdiri 4 jilid yang menggunkan metode  tahlili dengan corak Al-ra’yu atau banyak menggunkan pikiran dalam menafsirkan Al-Qur’an, dan lebih berorientasikan pada segi bahasa dan sastra serta teologis.

4.        TAMBAHAN PENJELAS
Disini penulis akan membahas lebih mendalam tentang metode yang digunakan beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu dalam Tafsir Al-Kasysyaf , Kitab tafsir ini berjudul lengkap Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, yang disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".

Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Secara umum ada dua metode tafsir dalam Islam. Pertama, tafsir bir riwayah dan kedua tafsir bir ra'yi. Kita akan bahas satu persatu.
1. Tafsir bir riwayah
Maksudnya adalah tafsir yang dalam memahami kandungan ayat al-Qur'an lebih menitikberatkan pada ayat al-Qur'an dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis dan jarang sekali pengarang tafsir tsb. menaruh pemikirannya. Tafsir at-Thabari misalnya dianggap mewakili corak penafsiran model ini.
Yang paling baik dari tafsir jenis ini adalah mufassir yang menggunakan ayat Qur'an untuk menafsirkan ayat Qur'an yang lain. Atau dalam ungkapan bahasa arab disebut "Al-Qur'an yufassiruhu ba'dhuhu ba'dhan" (al-Qur'an itu menafsirkan sebagian ayatnya dengan sebagian ayat yang lain).
Dari model tafsir bir riwayat dikelompokkan lagi dua macam bentuk penafsirannya:
  1. Tafsir at-tahlili, artinya mufassir (ahli tafsir) memulai kitab tafsirnya dari al-Fatihah sampai surat an-Nas. Ia uraikan tafsirnya menurut urutan surat dalam al-Qur'an. Semua kitab tafsir klasik mengikuti model ini. Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan Tafsir al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya. Ini juag digunakan pada tafsir
b. Tafsir maudhu'i (tematis), artinya mufassir tidak memulai dari surat pertama sampai surat ke-114, melainkan memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Ambil contoh, kita ingin tahu apa makna Islam dalam al-Qur'an. Maka kita himpun semua ayat yang berisikan kata Islam (dan segala derivasinya) lalu kita tafsirkan. Jadi, tafsir model ini bersifat tematis. Konon metode seperti ini dimulai oleh Muhammad al-Biqa'i. Dari kalangan Syi'ah yang menganjurkan metode model ini adalah Muhammad Baqir as-Shadr. Pak Quraish Shihab adalah ahli tafsir Indonesia yang pertama kali memperkenalkan metode ini dalam tulisan-tulisannya di tanah air. Bukunya Wawasan al-Qur'an berisikan tema-tema penting dalam al-Qur'an yg dibahas dengan metode maudhu'i ini.
2. Tafsir bir ra'yi
Dari namanya saja terlihat jelas bahwa tafsir model ini kebalikan dengan tafsir bir riwayah. Ia lebih menitikberatkan pada pemahaman akal (ra'yu) dalam memahami kandungan nash. Tetap saja ia memakai ayat dan hadis namun porsinya lebih pada akal. Contoh tafsir model ini adalah Tafsir al-kasysyaf karya Zamakhsyari dari kalangan Mu'tazilah, tafsir Fakh ar-Razi, Tafsir al-Manar. de el el
Kalau mau dipilah lagi maka tafsir model ini bisa dibagi kedalam:
  1. Tafsir bil 'ilmi (seperti menafsirkan fenemona alam dengan kemudian merujuk ayat Qur'an)
  2. Tafsir falsafi (menggunakan pisau filsafat utk membedah ayat Qur'an)
  3. Tafsir sastra. Lebih menekankan aspek sastra dari ayat al-Qur'an. Model tafsir ini pada masa sekarang dikembangkan oleh Aisyah Abdurrahman (dia perempuan lho) atau terkenal dengan nama Bintusy Syathi. Alhamdulillah karya Bintusy Syathi ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagai catatan, untuk kajian modern sekarang, sesungguhnya penggolongan secara kaku dan ketat tafsir bir riwayah dan bir ra'yi itu tak lagi relevan. Seperti tafsir-nya Bintusy Syathi setelah saya simak ternyata penuh dengan kandungan ayat Qur'an untuk memahami ayat lain. Begitu pula tafsir al-Manar, pada sebagian ayatnya terlihat keliberalan penulisnya tapi pada bagian ayat lain justru terlihat kekakuan penulisnya. Tafsir model maudhu'i (tematis) juga tak bisa secara kaku dianggap sebagai tafsir bir riwayah semata.
Lalu yang mana metode tafsir yang terbaik? Kitab tafsir mana yang paling baik?
Syeikh Abdullah Darraz berkata: "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja anda berikan kesempatan pada rekan anda untuk melihat kandungan ayat Qur'an boleh jadi ia akan melihat lebih banyak dari yang anda lihat."
Jadi? Tak usah khawatir mana yang terbaik... Semua metode tafsir bertujuan menyingkap cahaya al-Qur'an.


Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta