Senin, 01 Maret 2010

SETATUS PERWALIAN DALAM PERKAWINAN MENURUT PANDANGAN FIQH DAN UU DI INDONESIA

A. Pengertian Wali
Menurut bahasa, wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta kekayaan. Sedang menurut undang-undang yang berlaku bahwa perwalian adalah kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama, anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Orang tua dapat dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum jika di bawah umur (di bawah 21 tahun), atau mengalami cacat fisik atau mental yang berat. Menurut hukum Indonesia, seorang wali bertanggungjawab atas kesejahteraan dan harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, termasuk warisan. Pertanggungjawaban perwalian ini tetap berlaku sampai anak di bawah perwalian berumur 18 tahun atau melangsungkan perkawinan, dan pada waktu itu semua harta anak yang di bawah perwalian harus diserahkan kembali kepada anak tersebut.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, memberadakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan nafs), perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah ‘alan nafsi wal mali ma’an). Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‘alan nafs, yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-Isyraf) terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain.
Perwalian yang berkenaan dengan manusia dalam hal ini masalah perkawinan disebut wali nikah. Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memelihara yang ada di bawah perwaliannya atau perlindungan-nya. Maksudnya seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung serta mampu berbuat itu. Sedang seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta haknya lantaran ia merasa tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang lain.
Secara umum, seseorang itu membutuhkan wali lantaran: belum dewasa, kurang ingatan,
kurang berpengalaman untuk memikul tanggung jawab. Dengan demikian wali memiliki tanggung jawab yang besar, karena telah dikukuhkan oleh hukum (agama) dan apabila dilihat berdasarkan kedudukannya, wali tidak begitu saja melimpahkan wewenangnya kepada orang lain yang tidak berhak, karena untuk menjadi wali harus ada kaitannya dengan struktur keluarga (hubungan nasab). Disamping itu wali juga sebagai rukun dan syarat dalam melangsungkan perkawinan.

B. Dasar Hukum Adanya Perwalian
Adapun dasar hukum adanya perwalian terdapat pada firman Allah swt di bawah ini :
                                    
232. Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Baqarah : 232)
[146] Kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.

Larangan dalam ayat ini ditujukan kepada para wali sesuai dengan sebab diturunkannya ayat di atas. Maksudnya ialah bahwa para wali termasuk di antara orang-orang yang dapat menghalangi berlangsungnya suatu perkawinan, seandainya perkawinan itu di laksanakan tanpa meminta izin kepada mereka, atau tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan agama. Dalam hadist nabi juga dijelaskan tentang adanya wali dalam pernikahan. Yakni ;
Artinya : Dari Aisyah r.a berkata bahwa rasulullah saw bersabda: Tidak ada
nikah kecuali dengan adanya wali dan 2 orang saksi yang adil.

C. Urgensi adanya wali
Perwalian baik atas orang maupun barang dalam perkawinan sangat dibutuhkan. Tanpa adanya perwalian akan terjadi kesulitan dan kerancuan dalam melaksanakan hukum, tetapi dengan adanya perwalian penguasaan dan perlindungan atas orang atau barang yang ada di bawah perwaliannya akan dapat diurus dengan baik sesuai dengan aturan yang terdapat di dalam undang-undang atau hukum agama.
Dengan adanya suatu perkawinan tentu terdapat juga syarat dan rukunrukunnya, salah satu rukun perkawinan adalah adanya seorang wali dan orang yang berhak untuk menjadi wali adalah wali yang bersangkutan, jika wali yang bersangkutan tidak dapat bertindak untuk menjadi wali, adakalanya tidak hadir atau karena suatu sebab yang tidak dapat menampilkan sebagai wali, dengan demikian hak untuk menjadi wali akan berpindah kepada orang lain. Maka akad nikah akan dianggap sah apabila terdapat seorang wali dan wakilnya yang akan menikahkannya.
Wali dalam perkawinan adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, hal ini berlaku untuk semua perempuan yang dewasa atau masih kecil, masih perawan atau sudah janda. Hal ini juga sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 19 KHI yakni apabila tidak dipenuhi, maka status perkawinannya tidak sah. Sebagaimana hadist di bawah ini.

Artinya : Dari Aisyah r.a, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda “ Mana saja wanita yang menikah tanpa seizing walinya, maka pernikahannya batal, jika suaminya telah mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia menganggap halal farjinya. Lalu jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali baginya”. (H.R. al-Arb’ah selain an-Nasai. Berarti hanya Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah dan dinilai shahih oleh Abu Ummah, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Dan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Artinya : Tidak boleh seorang wanita menikahkan wanita, dan tidak boleh wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya seorang pezina dia menikahkan dirinya sendiri”.
Dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, memang tidak ada yang menyebutkan tentang wali sama sekali. Namun dalam al-Qur’an ada ayat lain yang berbicara tentang perlunya wali dan keputusannya yang seksama, misalnya berkenaan dengan seorang perempuan “tayyibah” yakni seorang wanita yang sudah sangat mendambakan adanya suami. Al-Qur’an menyarankan dalam surat al-Baqarah ayat 221, “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. Ayat ini ditujukan kepada para wali yang tidak boleh memberikan izin menikahkan dan diwakilkan anak-anak mereka dengan seorang lelaki musyrik. Di samping itu banyak dalil yang menyebutkan bahwa wanita itu tidak boleh melaksanakan pernikahan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Tetapi ia harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan seorang wali yang mewakilinya. Jika ada seorang wanita yang melaksanakan akad nikah sendiri (tanpa wali) maka akad nikahnya batal. Demikian yang dikatakan oleh mayoritas ahli fiqih. Dengan demikian Dalam perkawinan, urgensi adanya wali sangat penting artinya sangat dibutuhkan peranannya dan pertanggung jawabannya terhadap sah tidaknya suatu akad perkawinan. Karena kehadiran seorang wali termasuk salah satu rukun perkawinan, sebagaimana dijelaskan dalam KHI pasal 14 disebutkan bahwa melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon isteri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijab dan Kabul
Dan diperjelas dalam KHI pasal 19 yang menyebutkan bahwa: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

D. Klasifikasi Wali
1. Syarat-Syarat Wali
Sebagaimana penjelasan sebelumnya yang menunjukkan peran signifikan wali dalam pernikahan. Sorang wali nikah harus memiliki persyaratan tertentu demi keabsahan suatu pernikahan. Karena syarat ialah sesuatu yang dapat menyempurnakan sebab dan pengaruhnya dapat menghasilkan akibat. Persayaratan wali nikah tersebut dapat diketahui dari penjelasan di bawah ini.
Dalam Kompilasi Hukum Islam memberi batasan terhadap sifat orangorang yang berhak menjadi wali nikah, batasan itu tertuang dalam pasal 20 ayat 1 KHI yang berbunyi:
“Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.” Sedangkan para ulama mazhab yang empat telah sepakat, bahwa syarat-syarat orang boleh menjadi wali ialah.
a. Orang Islam, sebab itu orang kafir tidak sah menjadi wali
b. Orang baligh, maka anak-anak tidak sah menjadi wali.
c. Orang berakal, maka orang gila tidak sah menjadi wali.
Menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali, bahwa wali itu harus laki- laki, sebab itu tidak sah wali perempuan. Begitu juga wali itu harus adil. Tetapi menurut Hanafi, bahwa orang fasik sah juga menjadi wali karena tidak dilarang untuk mengawinkan anaknya sejak dahulu. Jadi syarat-syarat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Harus orang ya ng mukallaf. Artinya ia telah aqil balig. Karena orang yang belum aqil balig itu masih membutuhkan orang lain untuk mengawasi segala urusannya. Karenanya, selama ia tidak mampu mengurus diri sendiri, maka tidak mungkin ia mampu dibebani urusan orang lain. Orang yang belum baligh tidak boleh menjadi wali, sebab ia masih membutuhkan orang lain untuk mengawasi segala urusannya. Selama ia tidak mampu mengurusi dirinya sendiri, maka tidak mungkin ia mampu dibebani urusan orang lain dalam hal menjadi wali atas pernikahan orang lain.
b. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran: 28 yang berbunyi:
                              
28. Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).
[192] Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
c. Laki-Laki
Tidaklah disahkan wanita untuk menjadi wali dalam pernikahan, sebagaimana hadist Nabi saw yang berbunyi :
Artinya : Tidak boleh seorang wanita menikahkan wanita, dan tidak boleh wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya seorang pezina dia menikahkan dirinya sendiri”. Dan firman-Nya pula :
                                    
232. Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
[146] Kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.
Di dalam ayat ini jelas, bahwa hak perwalian dalam nikah ada di tangan kaum laki laki.
d. Merdeka
Wali nikah harus orang yang merdeka, dan tidak boleh seorang wali dari budak, sebab budak tidak memiliki kewenangan atas dirinya sendiri, maka lebih utama kalau ia tidak memiliki kewenangan atas diri orang lain.
e. Rasyid
Wali disyaratkan harus orang yang rasyid (berakal, bijaksana, cerdik). Artinya, ia harus mengetahui maksud tujuan dari pernikahan, karena orang yang safih (bodoh, dungu) tidak mampu mengurus dirinya sendiri dengan baik, apalagi mengurus diri orang lain. Dan mungkin orang seperti ini akan menjodohkan perempuan perwaliannya dengan orang yang bodoh sepertinya, dan ini akan menyia-nyiakan kemaslahatan yang akan diperoleh perempuan itu apabila dia menikah dengan orang yang tidak sesuai.
f. Adil.
Wali nikah harus memiliki sifat ‘Adaalah (luhur budi pekertinya, jujur) dan tidak orang yang fasik. Karena orang yang fasik dikhawatirkan akan menikahkan perempuan perwaliannya kepada orang yang tidak memiliki sifat takwa dan berakhlak mulia. Ulama’-ulama yang menjadikan ‘Adaalah sebagai syarat bagi wali nikah ialah ulama-ulama mazhab Hambali, Ibnu Taimiyah dan mazhab Syafi’i.

2. Macam-Macam Wali
Dari beberapa orang yang dinyatakan berhak menjadi wali, dapat digolongkan menjadi tiga macam wali, yaitu dari segi keturunan (Wali Nasab), Wali Hakim (Sulthon atau penguasa), dan Wali Muhakkam (wali yang diangkat oleh mempelai perempuan)
a. Wali Nasab
Wali Nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan perempuan tersebut. Yaitu ayah, kakek, saudara laki- laki, dan terus garis ke atas. Ayah dan kakek adalah mempunyai kekuasaan yang besar terhadap anak perempuan tersebut, jika ayah dan kakek tidak ada baru saudara-saudara seperti dalam urutan nasab di bawah ini, yaitu:
1. Ayah
2. Datuk laki- laki (kakek)
3. Saudara laki- laki seayah atau seibu.
4. Saudara laki- laki seayah.
5. Anak laki- laki dari saudara laki- laki sekandung.
6. Anak laki- laki dari saudara laki- laki seayah.
7. Paman (saudara laki- laki ayah) kandung.
8. Paman (saudara laki- laki ayah) seayah.
9. Anaknya paman sekandung.
10. Anaknya paman seayah.
Demikian dari urutan wali di atas untuk menentukan tentang sahnya nikah. Oleh sebab itu seseorang tidak boleh mengawinkan kalau masih ada orang yang lebih dekat dengan dirinya, karena orang yang lebih dekat itu sebagai orang yang berhak akan ashabah, dan kedudukannya menyerupai kedudukan pusaka. Maka jika salah seorang dari mereka mengawinkan menyalahi dengan urutan tersebut, nikahnya tidak sah. Seperti halnya Syafi’i berpedapat bahwa suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat terlebih dahulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Wali nasab terdiri dari dua bagian yaitu, pertama; Wali Mujbir, yaitu wali yang berhak memaksa untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa seizin mempelai perempuan. Kedua; wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan memaksa. Agama menjadikan wali mujbir ini bertujuan untuk memperlihatkan kepentingan perempuan yang ada dalam perwaliannya itu sendiri, sebab perempuan yang kehilangan kemampuan atau kurang kemampuannya tentu tidak dapat berfikir untuk dapat mengetahui manfaat akan nikah yang dihadapinya, juga dalam tindakan-tindakan yang dilakukannya disebabkan penyakit gila atau usia yang sangat muda. Tentang wali mujbir para ulama’ yang membolehkan wali mujbir menikahkan tanpa minta izin terlebih dahulu pada calon mempelai wanita harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
1. Antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan.
2. Laki- laki pilihan harus sekufu dengan perempuan itu.
3. Mahar tidak kurang dari mahar mitsil.
4. Laki-laki pilahan wali akan dapat memenuhi kewajibannya terhadap isteri dengan baik dan tidak ada gambaran berbuat yang menyengsarakan isteri.
Apabila syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka gadis yang telah dikawinkan walinya tanpa dimintai persetujuannya terlebih dahulu itu dapat minta fasakh, perkawinannya minta diputuskan oleh hakim.
b. Wali Hakim
Wali Hakim adalah orang yang ditunjuk atau di tetapkan (menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku) untuk bertindak sebagai wali dalam perkawinan disebabkan wali nasabnya tidak ada atau menolak mengawinkan, dengan kata lain orang-orang yang dapat bertindak sebagai wali hakim harus berdasarkan undang-undang. Dalam undang-undang disebutkan yang dimaksud dengan wali hakim adalah Pejabat Pencatan Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal perempuan itu. Jadi wali hakim ialah pejabat yang diangkat oleh pemerintah khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai wali atau wanita yang akan menikah itu berselisih faham dengan walinya tentang calon mempelai atau pengantin laki- laki. Jadi sultan atau hakim yang bertindak sebagai wali dari perempuan yang akan dinikahkan. Hal ini sebagai mana yang terdapat pada hadist nabi sebagai berikut.
Perwalian akan berpindah tangan kepada wali hakim apabila terjadi hal- hal sebagai berikut:
1. Terdapat pertentangan di antara wali.
2. Tidak ada wali nasab.
3. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali adal.
4. Wali aqrab ghaib atau pergi dalam perjalanan yang tidak dapat ditempuh dengan
secepat mungkin atau dua hari perjalanan.
5. Wali aqrab dipenjara tidak bisa ditemui.
6. Wali aqrab berbelit-belit atau mempersulitnya.
7. Wali aqrab sendiri yang akan menikah.
8. Wali aqrab sedang Ihram.
9. Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir
tidak ada.

c. Wali Muhakkam
Wali Muhakkam adalah wali yang ditunjuk oleh mempelai perempuan yang tidak berwali, dimana wali yang ditunjuk tersebut tidak ada hubungan darah kerabat dan juga bukan hakim. Hal ini terjadi apabila wali yang berhak tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai wali karena sesuatu sebab tertentu atau dapat menjalankan tugasnya sebagai wali karena sesuatu sebab tertentu atau karena menolak menjadi wali, demikian juga wali hakim tidak dapat menggantikan kedudukan wali nasab karena berbagai sebab, maka calon mempelai perempuan dapat menunjuk seseorang yang dianggap pengetahuan agama (keagamaan) yang baik untuk menjadi wali.