Senin, 22 Februari 2010

Al-KASYSYAF KARYA AL-ZAMAKHSYARI


A.        BIOGRAFI AL-ZAMAKHSYARI’

1.        Riwayat hidup Al-Zamakhsyari’
Nama lengkap ‘Abd Al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn ‘Umar Al-Zamkhsyari’ dipanggail Al-Zamkhsyari’, lahir didaerah Zamkhsyar sebuah kota kecil Kawarizmi pada hari rabu 27 Rajab 1075 M pada masa pemerintahan Sultan Jalal Al-Din abi Fath Maliksyah, kelurga beliau adalah keluarga yang kekurangan (miskin) tetapi alim dan  taat beragama.
Beliau menuntut ilmu pertama kali ke Bukhara yaitu puasat pengetahuan dan terkenal dengan sastrawan, kemudian beliau belajar kepada Abu Mudar Al-Nahwi (W. 508) didaerah Khawarizm dan menjadi murid terbaik menguasai bahasa atau sastra Arab, logi, filsafat, dan ilmu kalam. Setelah itu beliau belajar keBagdad dan mengikuti pengajian hadits dengan Abu Al-khattab Al-Batr Abi Sa’idah Al-Syafani serta belajar fiqih Hanafi dengan Al-Syarif ibn Al-Syajari. Tapi beliau belum puas akhirnya ia bertekat untuk membersihkan dosa-dosanya dari sifat abisi yang mengedepankan mendapat kedudukan yang tinggi di pemerintahana sehingga beliau ingin hidupnya bermakna untuk agamanya, setelah itu beliau belajar kitab Sibawaihi yaitu pakar grametika Arab yang terkenal di Mekkah selama dua tahun. Beliau menghabiskan waktunya untuk ilmu dan menyebarkan faham Mu’tazilah sehingga banyak karya beliau lebih dari 50 buah yang menyangkup beberapa bidang dan sebagian karyanya masih dalam bentuk manuskripsi.

2.        Karya-karya Al-Zmakhsyari’
a.      Dibidang tafsir: Tafsir Al-kasysyaf ‘an Haq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujub Al-Ta’wil.
b.      Bidang Hadits: Al-Fa’iq fi garib Al-Hadits.
c.       Bidang Fiqh: Ar-Ra’id fi Al-Faraid.
d.      Bidang Ilmu Bumi: Al-Jibal wa Al-Amkinah.
e.      Bidang Akhlaq: Mutasyabih Asma’ Al-Ruwat, Al-Kalim Al-Nabawing fil Al-Mawa’iz Al-Nasa’ib Al-Kibar Al-Nas’ib Al-Sigar, Maqamat Fil Al-Mawa’iz, kitab fi Manaqib Al-Imam Abi Hanifah.
f.        Bidang Sastra: Diwan Rasa’il, Diwan Al-Tamasil, Taliyat Al-Darir.
g.      Bidang Ilmu Nahwu: Al-Namuzaj fi Al-Nahwu, Syarh Al-Katib Sibawaih, Syarh Al-Mufassal fi Al-nahw.
h.      Bidang Bahasa: Asas Al-balaghah, Jawahir Al-Lughah, Al-Ajnas, Muqadimah Al-Adab fi Al-Lughah.

B.        Tafsir Al-kasysyaf
1.      Latarbelakang Penulisan Tafsir Al-kasysyaf
Al-Zmakhsyari’ memulis kitabnya dengan judul Al-kasysyaf ’an Haqaiq Al-Tamzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil. Beliau terimpirasi dengan adanya permintaan kelompok  Mu’tazilah yang menamakan dirinya Al-Fi’ah Al-Najiyah Al-Adliyah, beliau mengatakan “ Mu’tazilah menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna Al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat didalamnya, termasuk segi-segi penakwilannya”. Beliau berhasil menyelesaikan tafsirnya  dalam waktu 30 bulan dimulai di Mekkah tahun 526 H, dan selesai pada hari senin 23 Rabi’ul Akhir 528 H.
Adapun buku yang dijadikan beliau sebagai rujukan atau referensi adalah sebagai berikut:
a.      Sumber Tafsir
1.      Tafsir Mujahid (w 104 H).
2.      Tafsir ‘Amr ibn ‘As ibn ‘Ubaid Al-Mu’tazili (w. 144 H).
3.      Tafsir Abi Bakr Al-Mu’tazili (w. 235 H).
4.      Tafsir Al-Hajjaz (w. 311 H).
5.      Tafsir Rumani (w. 382 H).
6.      Tafsir Ali bin Abi Talib dan Ja’far Al-Sidiq.
7.      Tafsir dari kelompok Jabariyah dan Khawarij.

b.      Sumber Hadits
Beliau lebih mengedepankan hadits dari Shahih Muslim walau hadits riwayat yang lain dicamtumkan tetapi jumlahnya sedikit sekali dan beliau menggunakan istilah fi Al-hadits dalam periwayatannya.

c.       Sumber Qira’at
1.      Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud.
2.      Mushaf Haris ibn Suwaid.
3.      Mushaf Ubay bin ka’ab.
4.      Mushaf ulama Hijaz Dan Syam.

d.      Sumber Bahasa dan Tata Bahasa
1.      Kitab Al-Nahwi karya Sibawaihi (w. 146 H).
2.      Islah Al-Mantiq karya Ibn Al-Sukait (w. 244 H).
3.      Al-Kamil, karya Al-Mubarrad (w. 244 H).
4.      Al-Mutammim, karya Abdullah Ibn Dusturiyah (w. 285 H).
5.      Al-Hujjah, karya Abi ‘Ali Al-Farisi (w. 377 H).
6.      Al-Halabiyyat, karya Abi ‘Ali Al-Farisi (w. 377 H).
7.      Al-Tamam, karya Ibn Al-Jinni (w. 392).
8.      Al-Muhtasib, karya Ibn Al-Jinni (w. 392).
9.      Al-Tibyan, karya Abi Al-Fath Al-Hamdani.

e.      Sumber Sastra
1. Al-Hayaran karya Al-Jahiz.
2. Hamasah karya Abi Tamam.
3. Istaghfir dan Istaghfiri karya Abu Al-‘Abd Al-Mu’arri.

2. Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir Al-kasysyaf disusun dengan tertib mushafi yaitu berdasarkan urutan surat dan ayat dalam mushaf ‘Usmanai. Metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahlili yaitu meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat. Beliau juga menyingkap aspek munasabah yaitu hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya atau antara satu surat dengan surat laiannya, sesuai dengan tertib susunan surat-surat dalam Mushaf ‘Usmani. Dan sebagian besar penafsirannya berorientasikan kepada rasio (ra’yu), maka tafsir Al-kasysyaf  dapt dikategorikan pada tafsir bi Al-Ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan dalil naql (Nas Al-Qur’an dan hadits).

2.        PENILAIAN ULAMA TERHADAP TAFSIR AL-KASYSYAF
Berikut ini penilaian ulama’ terhadap tafsir beliau:
a. Imam Busykual
Imam Busykual meneliti dua tafir Ibn ‘Atiyyah dan tafsir Al-Zamakhsyari beliau beropini: “Tafsir Ibn ‘Atiyyah banyak mengambil sumber dari naql, lebih luas cakupannya dan lebih bersih. Sedang tafsir Al-Zamakhsyari lebih ringkas dan mendalam”.
Opini beliu yang negatif adalah Al-Zamakhsyari dalammenafsirkan Al-Qur’an sering menggunkan kata-kata sukar dan banyak menggunkan syair, sehingga mempersulit pembaca dalam memahaminya dan sering menyerang mazhab lain.
b.      Haidar Al-Harawi
Opini beliau: “Tafsir Al-Kasysyaf merupakan tafsir yang tinggi nilainya dari pada tafsir-tafsir sebelumnya dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan maupun pendalamannya.
Opini beliu dari segi kekurangannya:
a.      Sering melakukan penyimpangan makna lafadz tampa dipikir lebih mendalam.
b.      Kurang menghormati ulama’ lain yang tidak sama golongannya.
c.       Terlalu banyak menggunakan syair-syair dan pribahasa yang penuh kejenakaan.
d.      Sering menyebut Ahli Sunnah wa Al-Jama’ah dengan tidak sopan.
c.       Ibn Kaldun
Ibn Kaldun berpendapat tentang tafsir Al-Kasysyaf adalah tidak ada tafsir yang paling baik dan paling mampu dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an  dengan pendekatan bahasa dan balaghah serta i’rabnya.
Kekurangan tafsir Al-Kasysyaf Ibn Kaldun mengatakan “ Dlam tafsir Al-Zamakhsyari sering membela mazhabnyz dalam menafsirkan Al-Qur’an. 
d.      Mustofa Al-Sawl Al-Juwaini
Beliu berpendapat bahwa Al-Zamakhsyari seorang ulama yang panatik dalam membela pahamnya sehingga penafsirannya lebih condong pada mazhab Mu’tazilah.
e.      Ignaz Goldziher
Pendapat beliau terhadap tafsir Al-Kasysyaf adalah tafsir Al-Zamakhsyari sangat baik tetapi pembelaan mazhabnya sangat berlebian.
f.        Muhammad Husain Al-Zahabi.
Tafsir Al-Kasysyaf adalah tafsir yang paling lengkap dalam menyingkap balaghah Al-Qur’an.
Peniliaan beliau dalam segi kekurangannya: “Tidak bisa dijadikan pegangan atau rujukan tafsir beliau, karena terlalu fanatik  dengan mazhab lain dalam membela Mu’tazilah, sehingga penafsiran ayat yang tidak sesuai dengan gilongannya dibelokkan agar sesuai”.

3.        KESIMPULAN
a.      Al-Zamakhsyari’ adalah seorang ulama islam yang pandai atau ahli dalam bidang bahasa dan sastra arab, sekaligus seorang ulama yang fanatik dengan mazhab lain.
b.      Tafsir beliau adalah tafsir yang terdiri 4 jilid yang menggunkan metode  tahlili dengan corak Al-ra’yu atau banyak menggunkan pikiran dalam menafsirkan Al-Qur’an, dan lebih berorientasikan pada segi bahasa dan sastra serta teologis.

4.        TAMBAHAN PENJELAS
Disini penulis akan membahas lebih mendalam tentang metode yang digunakan beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu dalam Tafsir Al-Kasysyaf , Kitab tafsir ini berjudul lengkap Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, yang disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".

Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Secara umum ada dua metode tafsir dalam Islam. Pertama, tafsir bir riwayah dan kedua tafsir bir ra'yi. Kita akan bahas satu persatu.
1. Tafsir bir riwayah
Maksudnya adalah tafsir yang dalam memahami kandungan ayat al-Qur'an lebih menitikberatkan pada ayat al-Qur'an dan riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis dan jarang sekali pengarang tafsir tsb. menaruh pemikirannya. Tafsir at-Thabari misalnya dianggap mewakili corak penafsiran model ini.
Yang paling baik dari tafsir jenis ini adalah mufassir yang menggunakan ayat Qur'an untuk menafsirkan ayat Qur'an yang lain. Atau dalam ungkapan bahasa arab disebut "Al-Qur'an yufassiruhu ba'dhuhu ba'dhan" (al-Qur'an itu menafsirkan sebagian ayatnya dengan sebagian ayat yang lain).
Dari model tafsir bir riwayat dikelompokkan lagi dua macam bentuk penafsirannya:
  1. Tafsir at-tahlili, artinya mufassir (ahli tafsir) memulai kitab tafsirnya dari al-Fatihah sampai surat an-Nas. Ia uraikan tafsirnya menurut urutan surat dalam al-Qur'an. Semua kitab tafsir klasik mengikuti model ini. Metode tahlili adalah metode tafsir Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan mengurai berbagai sisinya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an. Metode ini merupakan metode yang paling tua dan sering digunakan Tafsir al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’I, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya. Ini juag digunakan pada tafsir
b. Tafsir maudhu'i (tematis), artinya mufassir tidak memulai dari surat pertama sampai surat ke-114, melainkan memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Ambil contoh, kita ingin tahu apa makna Islam dalam al-Qur'an. Maka kita himpun semua ayat yang berisikan kata Islam (dan segala derivasinya) lalu kita tafsirkan. Jadi, tafsir model ini bersifat tematis. Konon metode seperti ini dimulai oleh Muhammad al-Biqa'i. Dari kalangan Syi'ah yang menganjurkan metode model ini adalah Muhammad Baqir as-Shadr. Pak Quraish Shihab adalah ahli tafsir Indonesia yang pertama kali memperkenalkan metode ini dalam tulisan-tulisannya di tanah air. Bukunya Wawasan al-Qur'an berisikan tema-tema penting dalam al-Qur'an yg dibahas dengan metode maudhu'i ini.
2. Tafsir bir ra'yi
Dari namanya saja terlihat jelas bahwa tafsir model ini kebalikan dengan tafsir bir riwayah. Ia lebih menitikberatkan pada pemahaman akal (ra'yu) dalam memahami kandungan nash. Tetap saja ia memakai ayat dan hadis namun porsinya lebih pada akal. Contoh tafsir model ini adalah Tafsir al-kasysyaf karya Zamakhsyari dari kalangan Mu'tazilah, tafsir Fakh ar-Razi, Tafsir al-Manar. de el el
Kalau mau dipilah lagi maka tafsir model ini bisa dibagi kedalam:
  1. Tafsir bil 'ilmi (seperti menafsirkan fenemona alam dengan kemudian merujuk ayat Qur'an)
  2. Tafsir falsafi (menggunakan pisau filsafat utk membedah ayat Qur'an)
  3. Tafsir sastra. Lebih menekankan aspek sastra dari ayat al-Qur'an. Model tafsir ini pada masa sekarang dikembangkan oleh Aisyah Abdurrahman (dia perempuan lho) atau terkenal dengan nama Bintusy Syathi. Alhamdulillah karya Bintusy Syathi ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagai catatan, untuk kajian modern sekarang, sesungguhnya penggolongan secara kaku dan ketat tafsir bir riwayah dan bir ra'yi itu tak lagi relevan. Seperti tafsir-nya Bintusy Syathi setelah saya simak ternyata penuh dengan kandungan ayat Qur'an untuk memahami ayat lain. Begitu pula tafsir al-Manar, pada sebagian ayatnya terlihat keliberalan penulisnya tapi pada bagian ayat lain justru terlihat kekakuan penulisnya. Tafsir model maudhu'i (tematis) juga tak bisa secara kaku dianggap sebagai tafsir bir riwayah semata.
Lalu yang mana metode tafsir yang terbaik? Kitab tafsir mana yang paling baik?
Syeikh Abdullah Darraz berkata: "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja anda berikan kesempatan pada rekan anda untuk melihat kandungan ayat Qur'an boleh jadi ia akan melihat lebih banyak dari yang anda lihat."
Jadi? Tak usah khawatir mana yang terbaik... Semua metode tafsir bertujuan menyingkap cahaya al-Qur'an.


Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar